Demam Berdarah Dengue banyak ditemukan di daerah
tropis dan sub-tropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan
pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, sejak tahun
1968 hingga tahun 2009, World Health 0rganization (WHO) mencatat negara
Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara. Penyakit
Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat yang utama di Indonesia.
Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya
semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk.
Di Indonesia Demam Berdarah pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun
1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal
dunia (Angka Kematian (AK) : 41,3 %). Dan sejak saat itu, penyakit ini menyebar
luas ke seluruh Indonesia.
Penyakit ini disebabkan oleh virus Dengue dari genus
Flavivirus, famili Flaviviridae. DBD ditularkan ke manusia
melalui gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi virus Dengue. Virus Dengue
penyebab Demam Dengue (DD), Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Dengue Shock
Syndrome (DSS) termasuk dalam kelompok B Arthropod Virus (Arbovirosis)
yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviride,
dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: Den-1, Den-2, Den-3, Den-4.
Persebaran
Kasus
Di Indonesia DBD telah menjadi masalah kesehatan
masyarakat selama 41 tahun terakhir. Sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan
persebaran jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi
dan 2 kota, menjadi 32 (97%) dan 382 (77%)
kabupaten/kota
pada tahun 2009. Provinsi Maluku, dari tahun 2002 sampai tahun 2009 tidak ada
laporan kasus DBD. Selain itu terjadi juga peningkatan jumlah kasus DBD, pada
tahun 1968 hanya 58 kasus menjadi 158.912 kasus pada tahun 2009.
Peningkatan dan penyebaran kasus DBD
tersebut kemungkinan disebabkan oleh mobilitas penduduk yang tinggi,
perkembangan wilayah perkotaan, perubahan iklim, perubahan kepadatan dan distribusi
penduduk serta faktor epidemiologi lainnya yang masih memerlukan penelitian
lebih lanjut.
Angka
Insiden (AI) /Incidence Rate (IR)
Menurut Mc Michael (2006), perubahan iklim
menyebabkan perubahan curah hujan, suhu, kelembaban, arah udara sehingga berefek
terhadap ekosistem daratan dan lautan serta berpengaruh terhadap kesehatan
terutama terhadap perkembangbiakan vektor penyakit seperti nyamuk Aedes,
malaria dan lainnya. Selain itu, faktor perilaku dan partisipasi masyarakat
yang masih kurang dalam kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) serta faktor
pertambahan jumlah penduduk dan faktor peningkatan mobilitas penduduk yang
sejalan dengan semakin membaiknya sarana transportasi menyebabkan penyebaran
virus DBD semakin mudah dan semakin luas.
Pada tahun 2009 tampak provinsi DKI
Jakarta merupakan provinsi dengan AI DBD tertinggi (313 kasus per 100.000
penduduk),sedangkan Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi dengan AI DBD
terendah (8 kasus per 100.000 penduduk). Terdapat 11 (33%) provinsi termasuk
dalam daerah risiko tinggi (AI > 55 kasus per 100.000 penduduk), Dalam lima
tahun terakhir (2005-2009) 5 provinsi dengan AI tertinggi. Provinsi DKI dan Kalimantan Timur selalu berada dalam 5
provinsi AI tertinggi dengan DKI Jakarta selalu menduduki AI yang paling tinggi
setiap tahunnya.
Hal ini terjadi karena pengaruh kepadatan penduduk,
mobilitas penduduk yang tinggi dan sarana transportasi yang lebih baik
dibanding daerah lain, sehingga penyebaran virus menjadi lebih mudah dan lebih
luas. Berbeda dengan Kaltim yang penduduknya tidak terlalu padat, menurut SUPAS
2005 kepadatan penduduk Kalimantan Timur hanya 12 orang/km2 (DKI Jakarta 13.344
orang/km2). Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya kejadian DBD di
Kalimantan Timur, kemungkinan adalah karena curah hujan yang tinggi sepanjang
tahun dan adanya lingkungan biologi yang menyebabkan nyamuk lebih mudah
berkembang biak.
Kasus DBD perkelompok
umur dari tahun 1993 - 2009 terjadi pergeseran. Dari tahun 1993 sampai tahun
1998 kelompok umurterbesar kasus DBD adalah kelompok umur <15 tahun, tahun
1999 - 2009 kelompok umur terbesar kasus DBD cenderung pada kelompok umur
>=15 tahun. Bila dilihat, distribusi kasus berdasarkan jenis kelamin pada
tahun 2008, persentase penderita laki-laki dan perempuan hamper sama. Jumlah
penderita berjenis kelamin laki-laki adalah 10.463 orang (53,78%) dan perempuan
berjumlah 8.991 orang (46,23%). Hal ini menggambarkan bahwa risiko terkena DBD
untuk laki-laki dan perempuan hampir sama, tidak tergantung jenis kelamin.
Sebaran
Kasus Berdasarkan Waktu dan Perubahan Iklim
Perubahan iklim dapat
memperpanjang masa penularan penyakit yang ditularkan melalui vektor dan mengubah
luas geografinya, dengan kemungkinan menyebar ke daerah yang kekebalan
populasinya rendah atau dengan infrastruktur kesehatan masyarakat yang kurang.
Selain perubahan iklim faktor risiko yang mungkin mempengaruhi penularan DBD adalah
faktor lingkungan, urbanisasi, mobilitas penduduk, kepadatan penduduk dan
transportasi. Indeks Curah Hujan (ICH) yang merupakan perkalian curah hujan dan
hari hujan dibagi dengan jumlah hari pada bulan tersebut.ICH tidak secara
langsung mempengaruhi perkembang-biakan nyamuk, tetapi berpengaruh terhadap
curah hujan ideal. Curah hujan ideal artinya air hujan tidak sampai menimbulkan
banjir dan air menggenang di suatu wadah/media yang menjadi tempat perkembang-biakan
nyamuk yang aman dan relatif masih bersih (misalnya cekungan di pagar bambu,
pepohonan, kaleng bekas, ban bekas, atap atau talang rumah). Tersedianya air
dalam media akan menyebabkan telur nyamuk menetas dan setelah 10 – 12 hari akan
berubah menjadi nyamuk. Bila manusia digigit oleh nyamuk dengan virus dengue
maka dalam 4 - 7 hari kemudian akan timbul gejala DBD. Sehingga bila hanya
memperhatikan faktor risiko curah hujan, maka waktu yang dibutuhkan dari mulai
masuk musim hujan hingga terjadinya insiden DBD adalah sekitar 3 minggu.
Sumber : Kemenkes, 2010, demam berdarah dengue, Buletin
jendela epidemiologi, vol 2, 1-15
No comments:
Post a Comment