Saturday, October 9, 2010

MALARIA




Malaria adalah penyakit yang menyerang manusia, burung, kera dan primata lainnya, hewan melata dan hewan pengerat, yang disebabkan oleh infeksi protozoa dari genus Plasmodium dan mudah dikenali dari gejala meriang (panas dingin menggigil) serta demam berkepanjangan.
Dengan munculnya program pengendalian yang didasarkan pada penggunaan residu insektisida, penyebaran penyakit malaria telah dapat diatasi dengan cepat. Sejak tahun 1950, malaria telah berhasil dibasmi di hampir seluruh Benua Eropa dan di daerah seperti Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Namun penyakit ini masih menjadi masalah besar di beberapa bagian Benua Afrika dan Asia Tenggara. Sekitar 100 juta kasus penyakit malaria terjadi setiap tahunnya dan sekitar 1 persen diantaranya fatal. Seperti kebanyakan penyakit tropis lainnya, malaria merupakan penyebab utama kematian di negara berkembang.
Pertumbuhan penduduk yang cepat, migrasi, sanitasi yang buruk, serta daerah yang terlalu padat, membantu memudahkan penyebaran penyakit tersebut. Pembukaan lahan-lahan baru serta perpindahan penduduk dari desa ke kota (urbanisasi) telah memungkinkan kontak antara nyamuk dengan manusia yang bermukim didaerah tersebut.

Penyakit Malaria yang terjadi pada manusia
Penyakit malaria memiliki 4 jenis, dan masing-masing disebabkan oleh spesies parasit yang berbeda. Gejala tiap-tiap jenis biasanya berupa meriang, panas dingin menggigil dan keringat dingin. Dalam beberapa kasus yang tidak disertai pengobatan, gejala-gejala ini muncul kembali secara periodik. Jenis malaria paling ringan adalah malaria tertiana yang disebabkan oleh Plasmodium vivax, dengan gejala demam dapat terjadi setiap dua hari sekali setelah gejala pertama terjadi (dapat terjadi selama 2 minggu setelah infeksi).
Demam rimba (jungle fever ), malaria aestivo-autumnal atau disebut juga malaria tropika, disebabkan oleh Plasmodium falciparum merupakan penyebab sebagian besar kematian akibat malaria. Organisme bentuk ini sering menghalangi jalan darah ke otak, menyebabkan koma, mengigau, serta kematian. Malaria kuartana yang disebabkan oleh Plasmodium malariae, memiliki masa inkubasi lebih lama daripada penyakit malaria tertiana atau tropika; gejala pertama biasanya tidak terjadi antara 18 sampai 40 hari setelah infeksi terjadi. Gejala tersebut kemudian akan terulang kembali setiap 3 hari. Jenis ke empat dan merupakan jenis malaria yang paling jarang ditemukan, disebabkan oleh Plasmodium ovale yang mirip dengan malaria tertiana.
Pada masa inkubasi malaria, protozoa tumbuh didalam sel hati; beberapa hari sebelum gejala pertama terjadi, organisme tersebut menyerang dan menghancurkan sel darah merah sejalan dengan perkembangan mereka, sehingga menyebabkan demam.

Penanganan
Sejak tahun 1638 malaria telah diatasi dengan getah dari batang pohon cinchona, yang lebih dikenal dengan nama kina, yang sebenarnya beracun dan menekan pertumbuhan protozoa dalam jaringan darah. Pada tahun 1930, ahli obat-obatan Jerman berhasil menemukan Atabrine ( quinacrine hydrocloride ) yang pada saat itu lebih efektif daripada quinine dan kadar racunnya lebih rendah. Sejak akhir perang dunia kedua, klorokuin dianggap lebih mampu menangkal dan menyembuhkan demam rimba secara total, juga lebih efektif dalam menekan jenis-jenis malaria dibandingkan dengan Atabrine atau quinine. Obat tersebut juga mengandung kadar racun paling rendah daripada obat-obatan lain yang terdahulu dan terbukti efektif tanpa perlu digunakan secara terus menerus.
Namun baru-baru ini strain Plasmodium falciparum, organisme yang menyebabkan malaria tropika memperlihatkan adanya daya tahan terhadap klorokuin serta obat anti malaria sintetik lain. Strain jenis ini ditemukan terutama di Vietnam, dan juga di semenanjung Malaysia, Afrika dan Amerika Selatan. Kina juga semakin kurang efektif terhadap strain plasmodium falciparum. Seiring dengan munculnya strain parasit yang kebal terhadap obat-obatan tersebut, fakta bahwa beberapa jenis nyamuk pembawa (anopheles) telah memiliki daya tahan terhadap insektisida seperti DDT telah mengakibatkan peningkatan jumlah kasus penyakit malaria di beberapa negara tropis. Sebagai akibatnya, kasus penyakit malaria juga mengalami peningkatan pada para turis dari Amerika dan Eropa Barat yang datang ke Asia dan Amerika Tengah dan juga diantara pengungsi-pengungsi dari daerah tersebut. Para turis yang datang ke tempat yang dijangkiti oleh penyakit malaria yang tengah menyebar, dapat diberikan obat anti malaria seperti profilaksis (obat pencegah).
Obat-obat pencegah malaria seringkali tetap digunakan hingga beberapa minggu setelah kembali dari bepergian. Mefloquine telah dibuktikan efektif terhadap strain malaria yang kebal terhadap klorokuin, baik sebagai pengobatan ataupun sebagai pencegahan. Namun obat tersebut saat ini tengah diselidiki apakah dapat menimbulkan efek samping yang merugikan. Suatu kombinasi dari sulfadoxine dan pyrimethamine digunakan untuk pencegahan di daerah-daerah yang terjangkit malaria yang telah kebal terhadap klorokuin. Sementara Proguanil digunakan hanya sebagai pencegahan.
Saat ini para ahli masih tengah berusaha untuk menemukan vaksin untuk malaria. Beberapa vaksin yang dinilai memenuhi syarat kini tengah diuji coba klinis guna keamanan dan keefektifan dengan menggunakan sukarelawan, sementara ahli lainnya tengah berupaya untuk menemukan vaksin untuk penggunaan umum. Penyelidikan tengah dilakukan untuk menemukan sejumlah obat dengan bahan dasar artemisin, yang digunakan oleh ahli obat-obatan Cina untuk menyembuhkan demam. Bahan tersebut terbukti efektif terhadap Plasmodium falciparum namun masih sangat sulit untuk diperbanyak jumlahnya.

Malaria adalah penyakit yang dapat bersifat cepat maupun lama prosesnya, malaria disebabkan oleh parasit malaria / Protozoa genus Plasmodium bentuk aseksual yang masuk kedalam tubuh manusia ditularkan oleh nyamuk malaria ( anopeles ) betina ( WHO 1981 ) ditandai dengan deman, muka nampak pucat dan pembesaran organ tubuh manusia. Parasit malaria pada manusia yang menyebabkan Malaria adalah Plasmodium falciparum, plasmodium vivax, plasmodium ovale dan plasmodium malariae.Parasit malaria yang terbanyak di Indonesia adalah Plasmodium falciparum dan plasmodium vivax atau campuran keduanya, sedangkan palsmodium ovale dan malariae pernah ditemukan di Sulawesi, Irian Jaya dan negara Timor Leste. Proses penyebarannya adalah dimulai nyamuk malaria yang mengandung parasit malaria, menggigit manusia sampai pecahnya sizon darah atau timbulnya gejala demam. Proses penyebaran ini akan berbeda dari setiap jenis parasit malaria yaitu antara 9 ? 40 hari ( WHO 1997 )
Siklus parasit malaria adalah setelah nyamuk Anopheles yang mengandung parasit malaria menggigit manusia, maka keluar sporozoit dari kelenjar ludah nyamuk masuk kedalam darah dan jaringan hati. Parasit malaria pada siklus hidupnya, membentuk stadium sizon jaringan dalam sel hati ( ekso-eritrositer ). Setelah sel hati pecah akan keluar merozoit / kriptozoit yang masuk ke eritrosit membentuk stadium sizon dalam eritrosit ( stadium eritrositer ), mulai bentuk tropozoit muda sampai sison tua / matang sehingga eritrosit pecah dan keluar merosoit. Merosoit sebagian besar masuk kembali ke eritrosit dan sebagian kecil membentuk gametosit jantan dan betina yang siap untuk diisap oleh nyamuk malaria betina dan melanjutkan siklus hidup di tubuh nyamuk (stadium sporogoni). Pada lambung nyamuk terjadi perkawinan antara sel gamet jantan (mikro gamet) dan sel gamet betina (makro gamet) yang disebut zigot. Zigot akan berubah menjadi ookinet, kemudian masuk ke dinding lambung nyamuk berubah menjadi ookista. Setelah ookista matang kemudian pecah, maka keluar sporozoit dan masuk ke kelenjar liur nyamuk yang siap untuk ditularkan ke dalam tubuh manusia. Khusus P. Vivax dan P. Ovale pada siklus parasitnya di jaringan hati (sizon jaringan), sebagian parasit yang berada dalam sel hati tidak melanjutkan siklusnya ke sel eritrosit tetapi tertanam di jaringan hati disebut Hipnosoit (lihat bagan siklus), bentuk hipnosoit inilah yang menyebabkan malaria relapse. Pada penderita yang mengandung hipnosoit, apabila suatu saat dalam keadaan daya tahan tubuh menurun misalnya akibat terlalu lelah/sibuk/stres atau perobahan iklim (musim hujan), maka hipnosoit akan terangsang untuk melanjutkan siklus parasit dari dalam sel hati ke eritrosit. Setelah eritrosit yang berparasit pecah akan timbul gejala penyakitnya kembali. Misalnya 1 ? 2 tahun yang sebelumnya pernah menderita P. Vivax/Ovale dan sembuh setelah diobati, suatu saat dia pindah ke daerah bebas malaria dan tidak ada nyamuk malaria, dia mengalami kelelahan/stres, maka gejala malaria muncul kembali dan bila diperiksa SD-nya akan positif P. Vivax/Ovale.
Pada P. Falciparum dapat menyerang ke organ tubuh dan menimbulkan kerusakan seperti pada otak, ginjal, paru, hati dan jantung, yang mengakibatkan terjadinya malaria berat/komplikasi, sedangkan P. Vivax, P. Ovale dan P. Malariae tidak merusak organ tersebut. P. falciparum dalam jaringan yang mengandung parasit tua di dalam otak, peristiwa ini yang disebut sekuestrasi. Pada penderita malaria berat, sering tidak ditemukan plasmodium dalam darah tepi karena telah mengalami sekuestrasi. Meskipun angka kematian malaria serebral mencapai 20 ? 50 %, hampir semua penderita yang tertolong tidak menunjukkan gejala sisa neurologis (sekuele) pada orang dewasa. Malaria pada anak sebagian kecil dapat terjadi sekuele. Pada daerah hiperendemis atau immunitas tinggi apabila dilakukan pemeriksaan SD sering dijumpai SD positif tanpa gejala klinis pada lebih dari 60 % jumlah penduduk.

PENATALAKSANAAN MALARIA BERAT
Selalu lakukan pemeriksaan secara legaartis, yang tdd :
Anamnesis secara lengkap (allo dan/ auto anamnesis bila memungkinkan)

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan laboratorium : parasitologi, darah tepi lengkap, uji fungsi hati, uji fungsi ginjal dan lain-lain untuk mendukung/menyingkirkan diagnosis/komplikasi lain, misal :: punksi lumbal, foto thoraks, dan lain-lain.

Penatalaksanaan malaria berat secara garis besar mempunyai 3 komponen penting yaitu :
Terapi spesifik dengan kemoterapi anti malaria.
Terapi supportif (termasuk perawatan umum dan pengobatan simptomatik)

Pengobatan terhadap komplikasi
Pada setiap penderita malaria berat, maka tindakan yang dilakukan di puskesmas sebelum dirujuk adalah :
A. Tindakan umum
B. Pengobatan simptomatik
C. Pemberian anti malaria pra rujukan : dosis I Kinin antipirin 10 mg/KgBB IM (dosis tunggal)
A. Tindakan umum ( di tingkat Puskesmas ) :
Persiapkan penderita malaria berat untuk dirujuk ke rumah sakit/fasilitas pelayanan yang lebih tinggi, dengan cara :
Jaga jalan nafas dan mulut untuk menghindari terjadinya asfiksia, bila diperlukan beri oksigen (O2)
Perbaiki keadaan umum penderita (beri cairan dan perawatan umum)
Monitoring tanda-tanda vital antara lain : keadaan umum, kesadaran, pernafasan, tekanan darah, suhu, dan nadi setiap 30 menit (selalu dicatat untuk mengetahui perkembangannya)
Untuk konfirmasi diagnosis, lakukan pemeriksaan SD tebal. Penilaian sesuai kriteria diagnostik mikroskopik.
Bila hipotensi, tidurkan dalam posisi Trendenlenburg dan diawasi terus tensi, warna kulit dan suhu, laporkan ke dokter segera.
Kasus dirujuk ke rumah sakit bila kondisi memburuk
Buat / isi status penderita yang berisi catatan mengenai : identitas penderita, riwayat perjalanan penyakit, riwayat penyakit dahulu, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium (bila tersedia), diagnosis kerja, diagnosis banding, tindakan & pengobatan yang telah diberikan, rencana tindakan/pengobatan, dan lain-lain yang dianggap perlu (misal : bila keluarga penderita menolak untuk dirujuk maka harus menandatangani surat pernyataan yang disediakan untuk itu). Catatan vital sign disatukan kedalam status penderita.

B. Pengobatan simptomatik :

Pemberian antipiretik untuk mencegah hipertermia : parasetamol 15 mg/KgBB/x, beri setiap 4 jam dan lakukan juga kompres hangat.
Bila kejang, beri antikonvulsan : Dewasa : Diazepam 5-10 mg IV (secara perlahan jangan lebih dari 5 mg/menit) ulang 15 menit kemudian bila masih kejang. Jangan diberikan lebih dari 100 mg/24 jam.
Bila tidak tersedia Diazepam, sebagai alternatif dapat dipakai Phenobarbital 100 mg IM/x
(dewasa) diberikan 2 x sehari.

C. Pemberian obat anti malaria spesifik :
Kina intra vena (injeksi) masih merupakan obat pilihan (drug of choice) untuk malaria berat. Kemasan garam Kina HCL 25 % injeksi, 1 ampul berisi 500 mg / 2 ml.
Pemberian anti malaria pra rujukan (di puskesmas) : apabila tidak memungkinkan pemberian kina perdrip maka dapat diberikan dosis I Kinin antipirin 10 mg/KgBB IM (dosis tunggal).

Cara pemberian :

Kina HCL 25 % (perdrip), dosis 10mg/Kg BB atau 1 ampul (isi 2 ml = 500 mg) dilarutkan dalam 500 ml dextrose 5 % atau dextrose in saline diberikan selama 8 jam dengan kecepatan konstan 2 ml/menit, diulang dengan cairan yang sama setiap 8 jam sampai penderita dapat minum obat.
Bila penderita sudah dapat minum, Kina IV diganti dengan Kina tablet / per oral dengan dosis 10 mg/Kg BB/ x dosis, pemberian 3 x sehari (dengan total dosis 7 hari dihitung sejak pemberian infus perdrip yang pertama).

Catatan :

Kina tidak boleh diberikan secara bolus intra vena, karena dapat menyebabkan kadar dalam plasma sangat tinggi dengan akibat toksisitas pada jantung dan kematian.
Bila karena berbagai alasan Kina tidak dapat diberikan melalui infus, maka dapat diberikan IM dengan dosis yang sama pada paha bagian depan masing-masing 1/2 dosis pada setiap paha (jangan diberikan pada bokong). Bila memungkinkan untuk pemakaian IM, kina diencerkan dengan normal saline untuk mendapatkan konsentrasi 60-100 mg/ml
Apabila tidak ada perbaikan klinis setelah pemberian 48 jam kina parenteral, maka dosis maintenans kina diturunkan 1/3 - 1/2 nya dan lakukan pemeriksaan parasitologi serta evaluasi klinik harus dilakukan.
Total dosis kina yang diperlukan :
Hari 0 : 30 mg/Kg BB
Hari I : 30 mg/Kg BB
Hari II dan berikutnya : 15-20 mg/Kg BB.
Dosis maksimum dewasa : 2.000 mg/hari.
Hindari sikap badan tegak pada pasien akut selama terapi kina untuk menghindari hipotensi postural berat.
Bila tidak memungkinkan dirujuk, maka penanganannya : lanjutkan penatalaksanaan sesuai protap umum Rumah Sakit (seperti telah diuraikan diatas), yaitu :
Pengobatan spesifik dengan obat anti malaria.
Pengobatan supportif/penunjang (termasuk perawatan umum dan pengobatan simptomatik)
Ditambah pengobatan terhadap komplikasi.

PENATALAKSANAAN KOMPLIKASI

1. Malaria cerebral
Didefinisikan sebagai unrousable coma pada malaria falsiparum, suatu perubahan sensorium yaitu manifestasi abnormal behaviour/kelakuan abnormal pada seorang penderita dari mulai yang paling ringan sampai koma yang dalam. Terbanyak bentuk yang berat.
Diantaranya berbagai tingkatan penurunan kesadaran berupa delirium, mengantuk, stupor, dan ketidak sadaran dengan respon motorik terhadap rangsang sakit yang dapat diobservasi/dinilai. Onset koma dapat bertahap setelah stadium inisial konfusi atau mendadak setelah serangan pertama. Tetapi ketidak sadaran post iktal jarang menetap setelah lebih dari 30-60 menit. Bila penyebab ketidaksadaran masih ragu-ragu, maka penyebab ensefalopahty lain yang lazim ditempat itu, seperti meningoensefalitis viral atau bakterial harus disingkirkan.

Manifestasi neurologis ( 1 atau beberapa manifestasi ) berikut ini bisa ada :
Ensefalopathy difus simetris.
Kejang umum atau fokal.
Tonus otot dapat meningkat atau turun.
Refleks tendon bervariasi.
Terdapat plantar fleksi atau plantar ekstensi.
Rahang mengatup rapat dan gigi kretekan (seperti mengasah).
Mulut mencebil (pouting) atau timbul refleks mencebil bila sisi mulut dipukul.
Motorik abnormal seperti deserebrasi rigidity dan dekortikasi rigidity.
Tanda-tanda neurologis fokal kadang-kadang ada.

Manifestasi okular : pandangan divergen (dysconjugate gaze) dan konvergensi spasme sering terjadi. Perdarahan sub konjunctive dan retina serta papil udem kadang terlihat.
Kekakuan leher ringan kadang ada. Tetapi tanda Frank (Frank sign) meningitis, Kernigs (+) dan photofobia jarang ada. Untuk itu adanya meningitis harus disingkirkan dengan pemeriksaan punksi lumbal (LP).
Cairan serebrospinal (LCS) jernih, dengan < a="Airway," b="Breathing," c="Circulation)" d="Drug"> 90 ml/jam, kurangi intake cairan untuk mencegah overload yang mengakibatkan udem paru.
2. Anemia berat ( Hb < kg =" 10">50 %), sedangkan gagal ginjal renal akibat tubuler nekrosis akut hanya terjadi pada 5-10 % penderita. Namun ARF sering terdeteksi terlambat setelah pasien sudah mengalami overload (dekompensasi kordis) akibat rehidrasi yang berlebihan (overhidrasi) pada penderita dengan oliguria/anuria, dan karena tidak tercatatnya balans cairan secara akurat.
Pada pasien severe falciparum malaria, bila memungkinkan sebaiknya kadar serum kreatinin diperiksa 2-3 x/minggu.

Bila terjadi oliguria (volume urin <> 6,5 mEq/L, hiperkalemia dapat juga didiagnosis melalui EKG)
Peningkatan ureum dengan uremic syndrome.

6. Perdarahan & gangguan pembekuan darah (coagulopathy)
Perdarahan dan koagulopathi jarang ditemukan di daerah endemis pada negara-negara tropis. Sering terjadi pada penderita yang non-imun terhadap malaria. Biasanya terjadi akibat trombositopenia berat ditandai manifestasi perdarahan pada kulit berupa petekie, purpura, hematom atau perdarahan pada hidung, gusi dan saluran pencernaan.
Gangguan koagulasi intra vaskuler jarang terjadi.
Tindakan :
Beri vitamin K injeksi dengan dosis 10 mg intravena bila protrombin time atau partial tromboplastin time memanjang.
Periksa Hb : bila <> output
CVP Normal Meninggi
Tekanan A. Pulmonal Normal Meninggi
JVP Normal Meninggi

Tindakan :
Bila ada tanda udema paru akut penderita segera dirujuk, dan sebelumnya dilakukan tindakan sebagai berikut :
1. Akibat ARDS
a. Pemberian oksigen
b. PEEP (positive end-respiratory pressure) bila tersedia.
2. Akibat over hidrasi :
- Pembatasan pemberian cairan
- Pemberian furosemid 40 mg i.v bila perlu diulang 1 jam kemudian atau dosis ditingkatkan sampai 200 mg (maksimum) sambil memonitor urin output dan tanda-tanda vital.
- Rujuk segera bila overload tidak dapat diatasi.
- Untuk kondisi mendesak (pasien kritis) dimana pernafasan sangat sesak, dan tidak cukup waktu untuk merujuk pasien, lakukan :
? Posisi pasien ½ duduk.
? Venaseksi, keluarkan darah pasien kedalam kantong transfusi/donor sebanyak 250-500 ml akan sangat membantu mengurangi sesaknya. Apabila kondisi pasien sudah normal, darah tersebut dapat dikembalikan ketubuh pasien.

8. Jaundice ( bilirubin > 3 mg%)
Manifestasi ikterus pada malaria berat sering dijumpai di Asia dan Indonesia yang mempunyai prognosis jelek.
Tindakan :
1. Tidak ada terapi khusus untuk jaundice. Bila ditemukan hemolisis berat dan Hb sangat menurun maka beri transfusi darah.
2. Bila fasilitas tidak memadai penderita sebaiknya segera di rujuk.

9. Asidosis metabolik
Asidosis dalam malaria dihasilkan dari banyak proses yang berbeda, termasuk diantaranya : obstruksi mikrosirkulasi, disfungsi renal, peningkatan glikolisis, anemia, hipoksia, dan lain-lain. Oleh karena itu asidosis metabolik sering ditemukan bersamaan dengan komplikasi lain seperti : anemia berat, ARF, hipovolemia, udem paru dan hiperparasitemia yang ditandai dengan peningkatan respirasi (cepat dan dalam), penurunan PH dan bikarbonat darah. Penyebabnya karena hipoksia jaringan dan glikolisis anaerobik. Diagnosis dan manajemen yang terlambat akan mengakibatkan kematian.
Tindakan :
a. Lakukan pemeriksaan kadar Hb. Bila penyebabnya karena anemia berat (Hb <> 5 % dan adanya skizontaemia sering berhubungan dengan malaria berat. Tetapi di daerah endemik tinggi, sebagian anak-anak imun dapat mentoleransi densitas parasit tinggi (20-30 %) sering tanpa gejala.
Penderita dengan parasitemia tinggi akan meningkatkan resiko terjadinya komplikasi berat.
Tindakan :
1. Segera berikan kemoterapi anti malaria inisial.
2. Awasi respon pengobatan dengan memeriksa ulang parasitemianya.
3. Indikasi transfusi tukar (Exchange Blood Transfusion/EBT) adalah :
? Parasitemia > 30 % tanpa komplikasi berat
? Parasitemia > 10 % disertai komplikasi berat lainnya seperti : serebral malaria, ARF, ARDS, jaundice dan anemia berat.
? Parasitemia > 10 % dengan gagal pengobatan setelah 12-24 jam pemberian kemoterapi anti malaria yang optimal.
? Parasitemia > 10 % disertai prognosis buruk (misal : lanjut usia, adanya late stage parasites/skizon pada darah perifer)
4. Pastikan darah transfusi bebas infeksi (malaria, HIV, Hepatitis)

V. PENGOBATAN PENCEGAHAN (KEMOPROFILAKSIS)

Obat yang dipakai untuk tujuan ini pada umumnya bekerja terutama pada tingkat eritrositer, hanya sedikit yang berefek pada tingkat eksoeritrositer (hati). Obat harus digunakan terus-menerus mulai minimal 1 ? 2 minggu sebelum berangkat sampai 4 ? 6 minggu setelah keluar dari daerah endemis malaria.
OAM yang dipakai dalam kebijakan pengobatan di Indonesia adalah :
Klorokuin : banyak digunakan karena murah, tersedia secara luas, dan relatif aman untuk anak-anak, ibu hamil maupun ibu menyusui. Pada dosis pencegahan obat ini aman digunakan untuk jangka waktu 2-3 tahun. Efek samping : gangguan GI Tract seperti mual, muntah, sakit perut dan diare. Efek samping ini dapat dikurangi dengan meminum obat sesudah makan.

Pencegahan pada anak :
OAM yang paling aman untuk anak kecil adalah klorokuin. Dosis : 5 mg/KgBB/minggu. Dalam bentuk sediaan tablet rasanya pahit sehingga sebaiknya dicampur dengan makanan atau minuman, dapat juga dipilih yang berbentuk suspensi.
Untuk mencegah gigitan nyamuk sebaiknya memakai kelambu pada waktu tidur.
Obat pengusir nyamuk bentuk repellant yang mengandung DEET sebaiknya tidak digunakan untuk anak berumur <> 15 2

Pencegahan kelompok
Ditujukan pada sekelompok penduduk, khususnya pendatang non-imun yang sedang berada di daerah endemis malaria. Pencegahan kelompok memerlukan pengawasan yang lebih baik. Obat diberikan melalui unit pelayanan kesehatan, pos-pos pengobatan malaria yang dibentuk sendiri oleh penduduk di wilayah tersebut, atau melalui pos obat desa (POD) yang di dalmnya menyediakan obat-obatan lain selain obat anti malaria.
Dosis dan cara pengobatan sama seperti pengobatan pencegahan perorangan.

VI. PROGNOSIS
1. Prognosis malaria berat tergantung kecepatan diagnosa dan ketepatan & kecepatan pengobatan.
2. Pada malaria berat yang tidak ditanggulangi, maka mortalitas yang dilaporkan pada anak-anak 15 %, dewasa 20 %, dan pada kehamilan meningkat sampai 50 %.
3. Prognosis malaria berat dengan kegagalan satu fungsi organ lebih baik daripada kegagalan 2 fungsi organ
? Mortalitas dengan kegagalan 3 fungsi organ, adalah > 50 %
? Mortalitas dengan kegagalan 4 atau lebih fungsi organ, adalah > 75 %
? Adanya korelasi antara kepadatan parasit dengan klinis malaria berat yaitu:
? Kepadatan parasit <> 100.000, maka mortalitas > 1 %
? Kepadatan parasit > 500.000, maka mortalitas > 50 %

VI. RUJUKAN PENDERITA

Semua penderita malaria berat dirujuk / ditangani RS Kabupaten.
Apabila penderita tidak bersedia dirujuk dapat dirawat di puskesmas rawat inap dengan
konsultasi kepada dokter RS Kabupaten.
Bila perlu RS kabupaten dapat pula merujuk kepada RS Propinsi.
Cara merujuk :
1) Setiap merujuk penderita harus disertakan surat rujukan yang berisi tentang diagnosa, riwayat penyakit, pemeriksaan yang telah dilakukan dan tindakan yang sudah diberikan.
2) Apabila dibuat preparat SD malaria, harus diikutsertakan.

Kriteria penderita malaria yang dirawat inap :
Bila salah satu atau lebih dari gejala dibawah ini :
1. Malaria dengan komplikasi
2. Malaria congenital pada bayi
3. Hiperparasitemia. (Parasitemia > 5 %)

SITE :www.infeksi.com

Thursday, April 29, 2010

THE CONTROL OF RABIES WITH DESA PAKRAMAN APPROACH IN BALI-INDONESIA

By : Sang Gede Purnama

Control efforts of rabies not government responsibility but all the community. The involvement of the village pakraman in this case really was needed where the traditional agency could participate directly in eliminating the dog, VAR giving and the production awig-awig quite supportive the success of this program.

The development of the rabies illness increasingly the day was increasingly worrying his situation. The number of his casualties continued to improve and his spreading territory also continued to spread. What was done by us evidently still could not bring about the Balinese province freest from rabies. Beforehand we were known as the free region rabies but with passing of time evidently our region has visited the animal of the bearer of the rabies virus.

The rabies virus in fact could be brought by the dog, the cat, and the monkey. Where the biggest potential was at this time spread by the dog. His spread through the bite the animal of the bearer of the rabies virus and including zoonosis (the animal diseases that could spread to humankind). The rabies illness could cause the death so as to need the serious handling towards this illness.

Precisely that distinguished the Balinese Province from the other area was ownership of this dog. His population's dog a large number of in the Balinese Province was compared the other area, this Dog was often set free by his owner, the Owner of the dog did not have data collected on it and rarely the dog that was given the vaccine. Nearby that the dog for the Balinese community as the guard of the house so as almost each house contained the dog. Estimated only was needed by a dog in the incubation period to spread rabies in Bali. The high dog population (500,000-600,000 tails) in Bali was the media that was effective as the spreading of rabies.

As the area of world tourism that most of his communities depended on the sector of tourism. Bali could also experience the big loss if the plague of rabies happening. The tourism industry is generally sensitive to the problem that happened especially the problem of the health of the community. During 2004, Bali the arrival almost 1.5 million foreign tourists. According to survey the Service of tourism Bali, these foreign tourists in general remained for 11 days with the issuing per tourists per the day of Rp 550,000.00. This means that during 2004, the amount of money that entered from the foreign tourists who went on holiday in Bali it was estimated as big as Rp9.075 trillion (Rp550.000,00 multiplied 11 days, multiplied 1.5 million people). That meaning that the impact indirectly that was caused to be big enough where being felt also by the perpetrators of tourism where being gotten by the hotel business, the agency of the tour trip, the transport, the restaurant, the tourist attraction, the handicraft or souvenir, and the perpetrators of the business.

The social condition for the community's culture that liked to maintain the dog also must be accompanied by his maintenance. The problem precisely emerged because of many deliberate kept dogs left wild by his owner without having the maintenance and the vaccination. This could become the supporting factor of the spreading of rabies was increasingly fast because of congestion of the dog population in Bali. Moreover if eventually had the monkey in Sangeh or the Alas Kedaton was affected by rabies then his situation will be increasingly just serious. That could cause the tour region only remained at the name because all the monkeys must be eliminated from the place.

How control efforts of rabies until now?. Officially Livestock breeding and the health Service mutually coordination in an effort to handle this problem. Eliminate the dog continued to be carried out but indeed still was more ineffective especially regional area that it was known had the positive dog rabies because still was the opposition from the community nearby not all the dogs could be eliminated. Several casualties with the story of the dog bite and positive rabies has also been died since last year up to now. Giving of the vaccine anti rabies (VAR) to the dog was still limited was carried out with various reasons. Rabies apparently became the time bomb for our community then the support and the community's participation that was needed in the handling of this problem.

The supervision of the animal transmitted rabies enters Bali currently began to be tightened. Nevertheless the potential for the entry of the animal transmitted rabies could happened. Besides having the dog that the bearer of the rabies virus roamed about in this province. This dog could already positive but not yet the showed sign of rabies so as to be able to enter the Balinese Province and to spread his virus.

His problem became so complex because of efforts eliminated that still was limited, VAR to the dog also not continued was carried out, many dogs that did not have data collected on it in each one the territory, The Number Of wild dog populations and was not yet applied by him the system that was comprehensive in the handling of this problem. Therefore must have steps that were serious and continuous in the handling of this problem.

The control rabies by Desa Pakraman approach in Bali, Province

The control system of based rabies the village pakraman was one of the options that it was considered was effective enough because in accordance with the social-culture condition the Balinese community. Handling efforts of an diseases with the social-culture approach were very important. Participation of all the sides towards the handling of this problem was needed. While this that happened was the government officially livestock breeding and the health that more often worked. With the number of powers and their limited budget the difficulty of carrying out the program in the Bali territory that was wide with various condition sorts.

As for the control system of based rabies this community where the role of the government agency and the social agency the community co-operated with each other. The service Livestock breeding officially coordination with the health office where the Community Health Centre and Puskeswan co-operated directly with the community's agency like the Pakraman Village. The Pakraman village furthermore communicated with the Banjar Adat (traditional organization in Bali). The role of this traditional series as the tip of the implementation spear of the program. Where eliminating the wild dog was done by Pecalang (The official security in Bali). Afterwards Kasinoman (The official who gave information to the community's other member), carried out the monitoring and the supervision of the dog that was owned by the resident including the unclear new dog emergence his ownership was in the village environment carried out by data collection. The cadre of the Health that was trained to be asked for as the promotion power of the health and if being needed could be trained to become the power that gave the Anti Rabies Vaccine (VAR) to the dog and the dog that met VAR was given the sign. The youth group also could play an active role as the promotion of the health worker towards the control of rabies.

The role of public figures as the agent of change also was needed. They that it was hoped could give good and true information afterwards Make full use of the community undertook the program that was agreed to. So as the control program of rabies could go well.

In several areas was that applied awig-awig (the traditional regulation that was agreed to together) where the community that had the deliberate dog in for wild and bit casualties then the owner was asked to replace the medical treatment cost in fact until the death ceremony and will be given the fine in accordance with the rule that was agreed to. This had a purpose so that this community guards his dog well and did not release just like that without the maintenance. The owner of the dog had an obligation to give the vaccine to his dog and treated him. If having the unclear wild dog his ownership was best to eliminated.

The implementation of the traditional regulation (awig-awig) that was agreed together to by the community was it was considered more effective as efforts to carry out the supervision of the wild dog and the control of rabies. In several areas of the production awig-awig this was carried out. The community's member who had the dog that earlier was left wild and was not maintained well currently began to carry out the supervision and the maintenance.

In fact many potentials for the organisation of the community that could in asked the co-operation in supporting this program like IAKMI, PHDI, LSM, Universities, and other. This the form of the community's participation towards the control of rabies. The problem of rabies was the problem all of us so already appropriately all of us participated in his control.

Tuesday, April 6, 2010

HIV/AIDS condition in Bali Province, Indonesia

The incident HIV+/the AIDS in Bali more often was encountered in the level of the household. The cumulative data of Health office Bali Province (2008a) up to November 2009 showed as many as 0.6 % case of the HIV were the baby and 1.35% age 1-4 years. Results sero the survey of the co-infection of TB-HIV in Bali in 2008 also showed 2.7% the housewife (IRT) that suffered TB also suffered the HIV (Muliawan, 2008).

The invention of some HIV sufferers around the patient TB was through the unit of the health service (UPK) the community health centre. Several community health centres in certain territories in fact showed the proportion of the infection findings HIV+ that was same or higher was compared by the findings through hospital UPK

Up to December 2009, the number of the total case of the HIV and the AIDS in Bali that it was reported by the Health Office Bali Province was 3238 cases totally the death totalling 298 cases. This data also showed that the spread through heterosexual higher was compared by the spread through the needle (68%:23%). The proportion of the case that claimed transmited through sexual relations increased by 17% in the period for the last 4 years whereas that claimed transmited through the needle only increased of 5%, in fact beforehand the highest case always resulting from the use of illegal drugs injection.

All the regencies and the city in Bali had cases of the HIV and the AIDS, where 3 big was occupied by Denpasar, Buleleng and Badung. Because of that then many of his control efforts were directed to 3 areas. Whereas the other regency, although the proportion of his case was still low but the potential for the spreading of the HIV and the AIDS were very big, especially with the expansion cafe and karaoke until the area of rural areas. Gianyar regency had many places that were visited by tourists so as to the interaction between the local inhabitants happen to tourists really tight.

Until this of most of the community's members did not yet often know the incident of the HIV infection with the infection oportunistik (IO) that was with him, so as often they did not realise himself was infected by the HIV and careless to take medicine. This condition caused the number of the community's members to come to the hospital in the serious situation or in the continued phase. This matter was supported by the VCT data in several of RS in Bali (that tended to be waiting for the client), where 21-32% ODHA that came had finally died.

Still many treatments stigmatisation and discrimination against the sufferer HIV+, caused the fear to be known by the status of HIV. This caused many of the community's members to be reluctant to acknowledge the connection or his risk against HIV. Results of the study also showed many stigmas and discrimination happened at the time of them was faced with the official of the health or when coming to look for the health service

Sunday, December 13, 2009

Protokol kyoto


The Kyoto Protocol is a protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC or FCCC), aimed at combating global warming. The UNFCCC is an international environmental treaty with the goal of achieving "stabilization of greenhouse gas concentrations in the atmosphere at a level that would prevent dangerous anthropogenic interference with the climate system."[1]


The Protocol was initially adopted on 11 December 1997 in Kyoto, Japan and entered into force on 16 February 2005. As of November 2009, 187 states have signed and ratified the protocol.[2] The most notable non-member of the Protocol is the United States, which is a signatory of UNFCCC and was responsible for 36.1% of the 1990 emission levels.

Under the Protocol, 37 industrialized countries (called "Annex I countries") commit themselves to a reduction of four greenhouse gases (GHG) (carbon dioxide, methane, nitrous oxide, sulphur hexafluoride) and two groups of gases (hydrofluorocarbons and perfluorocarbons) produced by them, and all member countries give general commitments. Annex I countries agreed to reduce their collective greenhouse gas emissions by 5.2% from the 1990 level. Emission limits do not include emissions by international aviation and shipping, but are in addition to the industrial gases, chlorofluorocarbons, or CFCs, which are dealt with under the 1987 Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer.

The benchmark 1990 emission levels were accepted by the Conference of the Parties of UNFCCC (decision 2/CP.3) [2] were the values of "global warming potential" calculated for the IPCC Second Assessment Report. These figures are used for converting the various greenhouse gas emissions into comparable CO2 equivalents when computing overall sources and sinks.

The Protocol allows for several "flexible mechanisms", such as emissions trading, the clean development mechanism (CDM) and joint implementation to allow Annex I countries to meet their GHG emission limitations by purchasing GHG emission reductions credits from elsewhere, through financial exchanges, projects that reduce emissions in non-Annex I countries, from other Annex I countries, or from annex I countries with excess allowances.

Each Annex I country is required to submit an annual report of inventories of all anthropogenic greenhouse gas emissions from sources and removals from sinks under UNFCCC and the Kyoto Protocol. These countries nominate a person (called a "designated national authority") to create and manage its greenhouse gas inventory. Countries including Japan, Canada, Italy, the Netherlands, Germany, France, Spain and others are actively promoting government carbon funds, supporting multilateral carbon funds intent on purchasing carbon credits from non-Annex I countries,[3] and are working closely with their major utility, energy, oil and gas and chemicals conglomerates to acquire greenhouse gas certificates as cheaply as possible.[citation needed] Virtually all of the non-Annex I countries have also established a designated national authority to manage its Kyoto obligations, specifically the "CDM process" that determines which GHG projects they wish to propose for accreditation by the CDM Executive Board.

Objectives

Kyoto is intended to cut global emissions of greenhouse gases.

The objective is the "stabilization and reconstruction of greenhouse gas concentrations in the atmosphere at a level that would prevent dangerous anthropogenic interference with the climate system."[1]

The objective of the Kyoto climate change conference was to establish a legally binding international agreement, whereby all the participating nations commit themselves to tackling the issue of global warming and greenhouse gas emissions. The target agreed upon was an average reduction of 5.2% from 1990 levels by the year 2012. Contrary to popular belief, the Protocol will NOT expire in 2012. In 2012, Annex I countries must have fulfilled their obligations of reduction of greenhouse gases emissions established for the first commitment period (2008-2012) (see Annex B of the Protocol).

Proponents also note that Kyoto is a first step[6][7] as requirements to meet the UNFCCC will be modified until the objective is met, as required by UNFCCC Article 4.2(d).[8]

The five principal concepts of the Kyoto Protocol are:[citation needed]

  • commitments to reduce greenhouse gases that are legally binding for annex I countries, as well as general commitments for all member countries;
  • implementation to meet the Protocol objectives, to prepare policies and measures which reduce greenhouse gases; increasing absorption of these gases (for example through geosequestration and biosequestration) and use all mechanisms available, such as joint implementation, clean development mechanism and emissions trading; being rewarded with credits which allow more greenhouse gas emissions at home;
  • minimizing impacts on developing countries by establishing an adaptation fund for climate change;
  • accounting, reporting and review to ensure the integrity of the Protocol;
  • compliance by establishing a compliance committee to enforce commitment to the Protocol.