Tuesday, May 8, 2012

Epidemiology Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) in Indonesia




DHF commonly found in tropical and sub-tropical. Data from around the world showed Asia ranks first in number of patients with DHF each year. Meanwhile, since 1968 until 2009, 0rganization World Health Organization (WHO) recorded the state of Indonesia as a country with the highest cases of DHF in Southeast Asia. DHF disease remains one of the major public health problems in Indonesia.
The number of patients and the distribution area increases with increasing mobility and population density. Dengue Fever in Indonesia were the first time found in the Surabaya city during 1968, where as many as 58 people were infected and 24 of them died (mortality rate : 41.3%). And since that time, the disease was spread throughout Indonesia.
The disease is caused by Dengue virus of the genus Flavivirus, family Flaviviridae. Dengue is transmitted to humans through the bite of an infected Aedes mosquito dengue virus. Dengue virus causes dengue fever (DD), Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) and Dengue Shock Syndrome (DSS) is included in group B Arthropod Virus (Arbovirosis) is now known as the genus Flavivirus, family Flaviviride, and have four types of serotypes, namely: Den -1, Den-2, Den-3, Den-4.
In Indonesia, DHF has become a public health problem for 41 years. Since 1968 there has been increased spread of the number of provinces and districts / cities of endemic dengue, from 2 provinces and 2 cities, became 32 (97%) and 382 (77%) districts/cities in 2009. Maluku Province, from 2002 until 2009 there were no reports of dengue cases. In addition there is also an increasing number of dengue cases, in 1968 only 58 cases to 158 912 cases in 2009.
The increase and spread of dengue cases are probably caused by high population mobility, urban development, climate change, changes in population density and distribution and other epidemiological factors that still require further study.

 
Incidence Rate (IR)

According to Mc Michael (2006), climate change is causing changes in rainfall, temperature, humidity, air direction so that the effect on terrestrial and marine ecosystems and the effect on health, especially against the proliferation of disease vectors such as Aedes mosquito, malaria and others. In addition, behavioral factors and community participation is still lacking in the activities of mosquito eradication nest (PSN) and the factor of population growth and increased mobility of population factors in line with the improved means of transportation led to the spread of dengue virus more easily and more widely.
In 2009 the province of Jakarta was a province with the highest incidence rate DHF (313 cases per 100,000 population), whereas the NTT province with the lowest incidence rate DHF (8 cases per 100,000 population). There are 11 (33%) provinces, including in high-risk areas (AI> 55 cases per 100,000 population), the last five years (2005-2009) five provinces with the highest IR. Jakarta and East Kalimantan province always has been in five provinces with the highest IR. Jakarta always has the highest IR each year.
This happened because of the influence of population density, high population mobility and a better transportation facilities than other areas, so the spread of the virus becomes more easily and more widely. In contrast to East Kalimantan not too densely populated, according to SUPAS 2005 East Kalimantan population densities of only 12 people/km2 (DKI Jakarta 13,344 people/km2). Factors that influenced the height of the DHF incident in East Kalimantan, the possibility was because of the high rainfall year round and the existence of the biological environment that caused mosquitoes to breed more easily.
Dengue cases per group age of the year 1993 - 2009 there was a shift. From 1993 to 1998 greatest old group of dengue cases was the age group <15 years, in 1999 to 2009 the largest age group of DHF cases tend to be in the age group> = 15 years. When seen, the distribution of cases by sex in 2008, the percentage of male patients and female nearly equal. Number of patients with male sex was 10 463 persons (53.78%) and women amounted to 8991 people (46.23%). This illustrates that the risk of DHF for men and women was almost the same, did not depend gender.
Climate change may extend the transmission of vector borne diseases and the changing geographic area, with possible spread to areas of low population immunity or the public health infrastructure is lacking. In addition to climate change, risk factors that may affect the transmission of dengue is environmental factors, urbanization, population mobility, population density and transportation. Rainfall Index (RI) that is multiplication of the rainfall and the day rain divided with the number of days in the month. RI not directly affects the breeding of mosquitoes, but the effect on the ideal rainfall. The ideal rainfall meaning that rain water not to cause flooding and stagnant water in a container / media into the breeding places of mosquitoes that are safe and relatively clean (for example basins in bamboo fences, trees, tin cans, old tires, roof or gutters home ). Availability of water in the media will cause mosquito eggs to hatch and after 10-12 days will turn into a mosquito. When the man was bitten by a mosquito with dengue virus then in 4-7 days and then will be symptoms of dengue fever. So if only attention to risk factors of rainfall, the time required from start to the rainy season until the occurrence of dengue incidence is about 3 weeks.

Sumber : Kemenkes, 2010, demam berdarah dengue, Buletin  jendela epidemiologi, vol 2, 1-15

Epidemiologi DBD di Indonesia




Demam Berdarah Dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health 0rganization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia.
Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk. Di Indonesia Demam Berdarah pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal dunia (Angka Kematian (AK) : 41,3 %). Dan sejak saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia.
Penyakit ini disebabkan oleh virus Dengue dari genus Flavivirus, famili Flaviviridae. DBD ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi virus Dengue. Virus Dengue penyebab Demam Dengue (DD), Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Dengue Shock Syndrome (DSS) termasuk dalam kelompok B Arthropod Virus (Arbovirosis) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviride, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: Den-1, Den-2, Den-3, Den-4.

Persebaran Kasus
Di Indonesia DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 41 tahun terakhir. Sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan persebaran jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%) dan 382 (77%)
kabupaten/kota pada tahun 2009. Provinsi Maluku, dari tahun 2002 sampai tahun 2009 tidak ada laporan kasus DBD. Selain itu terjadi juga peningkatan jumlah kasus DBD, pada tahun 1968 hanya 58 kasus menjadi 158.912 kasus pada tahun 2009.

            Peningkatan dan penyebaran kasus DBD tersebut kemungkinan disebabkan oleh mobilitas penduduk yang tinggi, perkembangan wilayah perkotaan, perubahan iklim, perubahan kepadatan dan distribusi penduduk serta faktor epidemiologi lainnya yang masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

Angka Insiden (AI) /Incidence Rate (IR)
Menurut Mc Michael (2006), perubahan iklim menyebabkan perubahan curah hujan, suhu, kelembaban, arah udara sehingga berefek terhadap ekosistem daratan dan lautan serta berpengaruh terhadap kesehatan terutama terhadap perkembangbiakan vektor penyakit seperti nyamuk Aedes, malaria dan lainnya. Selain itu, faktor perilaku dan partisipasi masyarakat yang masih kurang dalam kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) serta faktor pertambahan jumlah penduduk dan faktor peningkatan mobilitas penduduk yang sejalan dengan semakin membaiknya sarana transportasi menyebabkan penyebaran virus DBD semakin mudah dan semakin luas.

            Pada tahun 2009 tampak provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi dengan AI DBD tertinggi (313 kasus per 100.000 penduduk),sedangkan Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi dengan AI DBD terendah (8 kasus per 100.000 penduduk). Terdapat 11 (33%) provinsi termasuk dalam daerah risiko tinggi (AI > 55 kasus per 100.000 penduduk), Dalam lima tahun terakhir (2005-2009) 5 provinsi dengan AI tertinggi. Provinsi DKI dan Kalimantan Timur selalu berada dalam 5 provinsi AI tertinggi dengan DKI Jakarta selalu menduduki AI yang paling tinggi setiap tahunnya.

Hal ini terjadi karena pengaruh kepadatan penduduk, mobilitas penduduk yang tinggi dan sarana transportasi yang lebih baik dibanding daerah lain, sehingga penyebaran virus menjadi lebih mudah dan lebih luas. Berbeda dengan Kaltim yang penduduknya tidak terlalu padat, menurut SUPAS 2005 kepadatan penduduk Kalimantan Timur hanya 12 orang/km2 (DKI Jakarta 13.344 orang/km2). Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya kejadian DBD di Kalimantan Timur, kemungkinan adalah karena curah hujan yang tinggi sepanjang tahun dan adanya lingkungan biologi yang menyebabkan nyamuk lebih mudah berkembang biak.
Kasus DBD perkelompok umur dari tahun 1993 - 2009 terjadi pergeseran. Dari tahun 1993 sampai tahun 1998 kelompok umurterbesar kasus DBD adalah kelompok umur <15 tahun, tahun 1999 - 2009 kelompok umur terbesar kasus DBD cenderung pada kelompok umur >=15 tahun. Bila dilihat, distribusi kasus berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2008, persentase penderita laki-laki dan perempuan hamper sama. Jumlah penderita berjenis kelamin laki-laki adalah 10.463 orang (53,78%) dan perempuan berjumlah 8.991 orang (46,23%). Hal ini menggambarkan bahwa risiko terkena DBD untuk laki-laki dan perempuan hampir sama, tidak tergantung jenis kelamin.

Sebaran Kasus Berdasarkan Waktu dan Perubahan Iklim
Perubahan iklim dapat memperpanjang masa penularan penyakit yang ditularkan melalui vektor dan mengubah luas geografinya, dengan kemungkinan menyebar ke daerah yang kekebalan populasinya rendah atau dengan infrastruktur kesehatan masyarakat yang kurang. Selain perubahan iklim faktor risiko yang mungkin mempengaruhi penularan DBD adalah faktor lingkungan, urbanisasi, mobilitas penduduk, kepadatan penduduk dan transportasi. Indeks Curah Hujan (ICH) yang merupakan perkalian curah hujan dan hari hujan dibagi dengan jumlah hari pada bulan tersebut.ICH tidak secara langsung mempengaruhi perkembang-biakan nyamuk, tetapi berpengaruh terhadap curah hujan ideal. Curah hujan ideal artinya air hujan tidak sampai menimbulkan banjir dan air menggenang di suatu wadah/media yang menjadi tempat perkembang-biakan nyamuk yang aman dan relatif masih bersih (misalnya cekungan di pagar bambu, pepohonan, kaleng bekas, ban bekas, atap atau talang rumah). Tersedianya air dalam media akan menyebabkan telur nyamuk menetas dan setelah 10 – 12 hari akan berubah menjadi nyamuk. Bila manusia digigit oleh nyamuk dengan virus dengue maka dalam 4 - 7 hari kemudian akan timbul gejala DBD. Sehingga bila hanya memperhatikan faktor risiko curah hujan, maka waktu yang dibutuhkan dari mulai masuk musim hujan hingga terjadinya insiden DBD adalah sekitar 3 minggu.

Sumber : Kemenkes, 2010, demam berdarah dengue, Buletin  jendela epidemiologi, vol 2, 1-15



Thursday, May 3, 2012

KEPUTUSAN MK TENTANG ROKOK DILEMATIS



Oleh : Sang Gede Purnama


         Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menguji penjelasan pasal 115 ayat 1 UU Kesehatan. Pada awalnya pasal tersebut berbunyi "Khusus bagi tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya 'dapat' menyediakan tempat khusus untuk merokok". MK lalu menghapus kata 'dapat' dalam penjelasan pasal 115 ayat (1) UU No 36/2009 tentang Kesehatan tersebut. Sehingga kini bunyi penjelasan pasal tersebut yaitu "khusus bagi tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya menyediakan tempat khusus untuk merokok".
      Peraturan hukum tertulis memang sebaiknya memberi kepastian sehingga tidak ambigu. Permasalahannya dengan menghilangkan kata dapat justru menjadi kewajiban bagi tempat kerja, tempat umum dan lainnya untuk menyediakan tempat khusus merokok. Argumentasi yang disampaikan saat menguji undang-undang kesehatan tersebut agar kata “dapat” dihilangkan mungkin agar memberikan kepastian hukum, perokok agar dapat tempat untuk merokok dan perokok pasif terlindungi. Jadi terkesan win-win solution suatu keputusan yang sama-sama menguntungkan.
       Padahal konsekuensi pembuatan tempat khusus merokok tersebut sungguh tidak diharapkan karena asap rokok tersebut tidak bisa dijamin 100% tidak mencemari udara disekitarnya. Seperti teori mandi dikolam renang kalau ada yang kencing maka semua yang mandi akan terkena karena air terus berputar disana. Begitu juga asap rokok akan terus berputar di ruangan. Hal ini justru akan menambah perokok pasif bukannya melindungi.
       Konsep kawasan tanpa rokok melarang orang merokok di areal kawasan tersebut. Kalau mereka ingin merokok maka silakan mencari tempat di halaman terbuka langsung bukannya dibuatkan suatu tempat khusus merokok. Kalau kita ke bandara ada tempat khusus merokok, apa yang sebenarnya terjadi di dalam sana ? ada sekitar 6 orang lebih di dalam merokok secara bersamaan dan asapnya sangat banyak di ruangan tersebut. Efeknya justru sangat membahayakan perokok dan orang sekitarnya. Asap dalam satu ruangan tersebut diisap oleh perokok secara bersama-sama. Walaupun ruangan itu tertutup namun perputaran udaranya tidak bisa kita atur 100% tidak mencemari ruangan lainnya. Justru lebih baik kalau perokok tersebut merokok di areal terbuka tidak tertutup seperti itu.
     Idealnya suatu peraturan dan perundangan dibuat untuk melindungi warga negaranya. Rokok sudah terbukti dapat membahayakan kesehatan dan bersifat adiktif. Dengan demikian maka tidak ada toleransi untuk membiarkan perokok tersebut membahayakan kesehatan diri, orang lain dan lingkungannya.
     Beberapa perda untuk kawasan tanpa rokok (KTR) melarang dibuatnya tempat khusus merokok. Bahkan beberapa daerah sudah mulai memberlakukan sanksi bagi yang tertangkap merokok di tempat-tempat umum. Namun keputusan MK tentang rokok menyebabkan dilematis karena peraturan di bawah harus mengacu peraturan diatasnya. KTR yang dipromosikan kawasan 100% bebas asap rokok bisa menjadi kacau karena harus membuat tempat khusus merokok.
    Peraturan pemerintah tentang tembakau sebagai zat aditif yang sedang di susun saat ini juga harus mengacu pada keputusan MK tersebut. Kalaupun akan di buat tempat khusus untuk perokok maka sebaiknya adalah ruangan terbuka bukannya tertutup dan berada di luar gedung perkantoran. Hal ini untuk menghindari efek residu zat yang tersisa dan mengamankan udara di dalam gedung.
Apabila dipandang tidak memuaskan dan kurang berpihak pada masyarakat banyak keputusan MK tersebut dapat diajukan untuk di uji kembali. Sebab perundang-undangan dibuat pada prinsipnya untuk melindungi masyarakat kita. Tentunya dalam melakukan pengujian tersebut harus ditunjang dengan bukti-bukti yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
      Adapun beberapa argumentasi yang dapat diajukan yakni merokok dapat merugikan kesehatan perokok dan orang lain di sekitarnya sudah banyak penelitian yang meneliti tentang dampak rokok bagi kesehatan. Membentuk ruangan khusus merokok tidak dapat menjamin untuk bebas dari asap rokok di dalam ruangan. Perlunya perlindungan pada perokok pasif. Perokok aktif dapat melakukan kegiatan merokok di tempat terbuka yang ditentukan sehingga tidak perlu ruangan khusus.

Kebijakan rokok selalu ditentang
       Peraturan yang melarang untuk melakukan kegiatan merokok, kegiatan pengendaalian tembakau, produk tembakau sebagai zat adiktif terus gencar dilakukan oleh beberapa pihak yang peduli terhadap efek buruk tembakau. Namun demikian beberapa pihak yang merasa diuntungkan dengan keberadaan industri tembakau seperti perusahaan rokok sekala besar dan sekala kecil, petani tembakau. Terus melakukan perlawanan untuk mempertahankan eksistensi mereka.
       Di beberapa Negara maju industri rokok sudah mulai menurun peranannya bahkan beberapa mengalami penuntutan karena telah menyebabkan banyak masyarakat yang sakit. Hal ini merugikan bagi masyarakat dari segi produktifitas kerja dan angka harapan hidup. Mereka melakukan peraturan yang ketat pada industri tembakau. Mulai dengan menaikan cukai rokok dengan sangat tinggi, menambahkan gambar dampak buruk merokok pada 2,3 dari bungkus rokok, melarang iklan rokok di berbagai media, melakukan edukasi pada masyarakat tentang dampak buruk merokok dan lainnya.
       Di Indonesia kebijakan pengendalian tembakau sepertinya setengah hati untuk dibuat. Pajak dari industri rokok memang cukup besar namun dampak yang ditimbulkan juga cukup besar bahkan tidak sebanding dengan nilai yang diperoleh. Industri rokok tentunya akan terus melakukan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah yang mengganggu bisnis mereka. Dengan berargumentasi untuk keberlanjutan petani tembakau, karyawan pabrik rokok dan petani yang akan menganggur, pajak dari industri rokok yang besar. Mereka terus berjuang untuk bertahan.
        Beberapa pabrik rokok besar sudah berpindah ke Indonesia karena di Negara lain keberadaanya tidak diterima. Disamping juga pasar industri rokok cukup besar di Indonesia yang memiliki jumlah penduduk 2,4 juta jiwa. Dengan kondisi ini perlu ketegasan pemerintah untuk membuat kebijakan yang pro rakyat. Melakukan perlawanan terhadap industri rokok yang dapat menyebabkan masalah kesehatan masyarakat.
      Masalah petani tembakau yang seringkali dijadikan alasan sebenarnya dapat dialihkan ke tanaman palawija yang bermanfaat. Sehingga lahan yang saat ini digunakan untuk menanam tembakau dapat dialih fungsikan. Jadi mereka juga tidak akan ada masalah. Tenaga kerja di industri rokok sebenarnya juga tidak banyak karena industri rokok besar biasanya menggunakan mesin tidak banyak menggunakan tenaga kerja. Industri rokok rumahan yang biasanya banyak menggunakan tenaga kerja. Alasan banyaknya pengangguran kalau industri ini ditutup juga tidak benar. Mereka memiliki keterampilan sehingga dapat bekerja di industri lainnya yang lebih bermanfaat.