Wednesday, January 4, 2012

FORMULASI PENCEGAHAN RABIES DI BALI


Oleh : Sang Gede Purnama

            Bali sudah sejak lama dikenal sebagai daerah pariwisata sekaligus daerah yang bebas dari penyakit rabies. Belakangan ini kondisinya berubah semenjak 2 tahun lalu di Desa Ungasan, Kabupaten Badung terjadi kasus rabies. Kemudian kasus rabies menyebar di beberapa kabupaten di Bali hingga sulit untuk ditanggulangi secara lokal. Pemerintah berupaya melakukan vaksinasi pada anjing tapi karena jumlahnya banyak hingga kewalahan ditambah lagi begitu banyak anjing liar di bali. Menangkapnya sulit dan cerobohnya yang di vaksin tidak diisi tanda jadi kurang tau mana yang di vaksin mana yang tidak.
            Kemudian kasus gigitan anjing terus bertambah bahkan jumlahnya ribuan sedangkan stok vaksin untuk manusia terbatas, cerobohnya lagi akhirnya kasus bertambah karena tidak semua korban mendapatkan vaksin. Itulah sekelumit masalah saat provinsi bali baru pertama kali disebut daerah KLB rabies. Berikutnya dilakukan eliminasi anjing liar yang tidak jelas kepemilikannya, jumlah anjing liar di bali sangat banyak upaya ini dianggap tidak efektif. Mulailah ribut dengan LSM pecinta hewan yang menyalahkan langkah ini.
            Kondisi masyarakat Bali itu unik berbeda dengan daerah rawan rabies lainnya. Masyarakat Bali sudah terbiasa memelihara anjing, anjing dianggap penjaga rumah dan dapat makan sisa makanan sehari-hari. Disamping itu juga ada cerita hindu yang mengganggap binatang anjing ini suci. Sehingga dampaknya hampir setiap rumah ada anjing bahkan bisa jadi lebih banyak anjing daripada anggota keluarganya.
            Anjing di desa tidaklah dipelihara secara khusus melainkan di biarkan bebas begitu saja tanpa kurungan. Tidak seperti masyarakat pecinta anjing yang membeli makanan di Petshop kemudian dimandikan dengan shampoo khusus di periksa kesehatannya secara rutin. Melainkan ini dibiarkan bebas, kadang makan kadang juga tidak jadi mencari makan sendiri saja. Kondisi seperti ini sudah lama terjadi dan dalam sejarahnya baru kali ini penyakit rabies masuk Bali ada apa ini ???.
            Di duga kuat ada hewan penular rabies (HPR) yang masuk ke Provinsi Bali. Setelah kejadian barulah kita panik apa yang mesti dilakukan. Solusi penanggulangan rabies di Bali menurut penulis yakni :
pertama, lakukan promosi kesehatan mulai dari sekolah, masyarakat, perkantoran. Media massa dan elektronik mengenai pencegahan rabies.
kedua, lakukan pendataan kepemilikan anjing yang jelas di setiap banjar. Jadi kepala lingkungan setempat bertanggung jawab untuk melakukan pendataan kepemilikan anjing. Berapa jumlah anjing yang ada, siapa yang memiliki, berapa yang liar, berapa yang sudah di vaksin.
Ketiga, melakukan vaksinasi pada anjing di seluruh bali secara serentak dan tercatat. Apabila anjing liar tidak jelas siapa yang merawat lakukan eliminasi.
Keempat, melakukan pengawasan yang ketat pada binatang yang masuk dan keluar dari bali terutama di pelabuhan-pelabuhan.
            Langkah-langkah ini apabila dilaksanakan dengan baik maka rabies dapat diberantas dan masyarakat Bali bisa terbebas dari penyakit Rabies. Sekarang ini kegiatan kita masih setengah-setengah karena memang dana yang terbatas, kegiatan lintas sektoral masih tumpul, dan anjing liar masih banyak tidak terkontrol.       

PENANGGULANGAN RABIES BERBASIS DESA PAKRAMAN DI BALI


Oleh  : Sang Gede Purnama

Upaya penanggulangan rabies bukanlah tanggung jawab pemerintah saja melainkan seluruh masyarakat. Keterlibatan desa pakraman dalam hal ini sangatlah diperlukan dimana lembaga adat dapat berperan serta langsung dalam eliminasi anjing, pemberian VAR dan pembuatan awig-awig cukup mendukung suksesnya program ini.
 
Perkembangan penyakit rabies semakin hari semakin mengkhawatirkan keadaannya. Jumlah korbannya terus bertambah dan wilayah penyebarannya juga terus meluas. Apa yang telah kita lakukan ternyata masih belum bisa mewujudkan provinsi bali terbebas dari rabies. Sebelumnya kita  dikenal sebagai kawasan bebas rabies namun dengan berjalannya waktu ternyata kawasan kita telah kemasukan hewan pembawa virus rabies.
      Virus rabies sebenarnya dapat dibawa oleh anjing, kucing, dan kera. Dimana potensi terbesar saat ini disebarkan oleh anjing. Penularannya melalui gigitan hewan pembawa virus rabies dan termasuk zoonosis (penyakit hewan yang dapat menular kemanusia). Penyakit rabies dapat menyebabkan kematian sehingga perlu penanganan serius terhadap penyakit ini.
Justru yang membedakan Provinsi Bali dengan daerah lainnya adalah kepemilikan anjing tersebut. Anjing populasinya sangat banyak di Provinsi Bali dibandingkan daerah lainnya, Anjing tersebut sering dilepaskan oleh pemiliknya (diliarkan), Pemilik anjing tidak terdata dan jarang anjing yang divaksin. Disamping itu anjing bagi masyarakat bali sebagai penjaga rumah sehingga hampir setiap rumah berisi anjing. Diperkirakan hanya diperlukan seekor anjing dalam masa inkubasi untuk menularkan rabies di Bali. Populasi anjing yang tinggi (500.000-600.000 ekor) di Bali merupakan media yang efektif sebagai penyebaran rabies.
Sebagai daerah pariwisata dunia yang sebagian besar masyarakatnya tergantung pada sektor pariwisata. Bali juga dapat mengalami kerugian yang besar apabila terjadi wabah rabies. Industri pariwisata umumnya sensitif terhadap masalah yang terjadi khususnya masalah kesehatan masyarakat. Pada tahun 2004 saja, Bali kedatangan hampir 1,5 juta wisatawan asing. Menurut survey Dinas Pariwisata Bali, wisatawan asing tersebut rata-rata tinggal selama 11 hari dengan pengeluaran per wisatawan per hari sebesar Rp 550.000,00. Berarti pada tahun 2004, jumlah uang yang masuk dari para wisatawan asing yang berlibur di Bali diperkirakan sebesar Rp9.075 trilyun (Rp550.000,00 dikali 11 hari, dikali 1,5 juta orang). Itu artinya dampak tidak langsung yang ditimbulkan cukup besar dimana akan dirasakan juga oleh pelaku pariwisata dimana terdapat perhotelan, agen perjalanan wisata, transportasi, restoran, objek wisata, kerajinan tangan atau cinderamata, dan pelaku bisnis.
            Kondisi sosial budaya masyarakat yang suka memelihara anjing juga harus dibarengi dengan perawatannya. Masalah justru timbul karena banyak anjing peliharaan yang sengaja diliarkan oleh pemiliknya tanpa ada perawatan dan vaksinasi. Hal ini dapat menjadi faktor pendukung penyebaran rabies semakin cepat karena padatnya populasi anjing di Bali. Apalagi kalau nantinya ada monyet di Sangeh atau Alas Kedaton terkena rabies maka keadaannya akan semakin parah saja. Hal itu dapat menyebabkan kawasan wisata itu hanya tinggal nama karena semua monyet harus dieliminasi dari tempat itu.
            Bagaimana upaya penanggulangan rabies selama ini ?. Dinas Perternakan dan Dinas Kesehatan saling berkordinasi dalam upaya menangani masalah ini. Eliminasi anjing terus dilakukan namun memang masih kurang efektif terutama didaerah yang diketahui ada anjing positif rabies karena masih saja ada perlawanan dari masyarakat disamping tidak semua anjing dapat dieliminasi. Beberapa korban dengan riwayat gigitan anjing dan positif rabies juga sudah ada meninggal sejak setahun lalu hingga kini. Pemberian vaksin anti rabies (VAR) pada anjing masih terbatas dilakukan dengan berbagai alasan. Rabies sepertinya menjadi bom waktu bagi masyarakat kita maka dukungan dan peran serta masyarakatlah yang diperlukan dalam penanganan masalah ini.
            Pengawasan terhadap binatang penular rabies masuk ke Bali kini mulai diperketat. Namun demikian potensi masuknya hewan penular rabies dapat saja terjadi. Disamping sudah ada anjing yang pembawa virus rabies berkeliaran di provinsi ini. Anjing tersebut dapat saja sudah tertular namun belum menunjukan gejala rabies sehingga dapat masuk ke Provinsi Bali dan menyebarkan virusnya.
            Permasalahannya menjadi begitu kompleks karena upaya eliminasi yang masih terbatas, VAR pada anjing juga tidak kontiniue dilakukan, banyak anjing yang tidak terdata dimasing-masing wilayah, Banyaknya populasi anjing liar dan belum diterapkannya sistem yang komprehensif dalam penanganan masalah ini. Oleh sebab itulah harus ada langkah-langkah yang serius dan berkesinambungan dalam penanganan masalah ini.

           
Penanggulangan rabies berbasis desa pakraman
            Sistem penanggulangan rabies berbasis desa pakraman adalah salah satu opsi yang dipandang cukup efektif karena sesuai dengan kondisi sosial-budaya masyarakat bali. Upaya penanganan suatu penyakit dengan pendekatan sosial-budaya sangat penting. Peran serta semua pihak dalam upaya penanganan masalah ini diperlukan. Sementara ini yang terjadi adalah pemerintah dengan dinas perternakan dan kesehatan yang lebih banyak bekerja. Dengan jumlah tenaga dan anggaran yang terbatas mereka kesulitan untuk melaksanakan program diwilayah Bali yang luas dengan berbagai macam kondisinya.
            Adapun sistem penanggulangan rabies berbasis masyarakat tersebut dimana peranan lembaga pemerintah dan lembaga sosial masyarakat saling bekerjasama. Dinas perternakan berkordinasi dengan dinas kesehatan dimana Puskesmas dan Puskeswan bekerjasama langsung dengan lembaga masyarakat seperti Desa Pakraman. Desa Pakraman selanjutnya berkomunikasi dengan Banjar Adat. Peranan banjar adat inilah sebagai ujung tombak pelaksanaan program. Dimana eliminasi anjing liar dilakukan oleh pecalang. Kemudian Kasinoman melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap anjing yang dimiliki warga termasuk munculnya anjing baru yang tidak jelas kepemilikannya di lingkungan desa dilakukan pendataan. Kader Kesehatan yang terlatih diminta sebagai tenaga promosi kesehatan dan apabila diperlukan dapat dilatih menjadi tenaga yang memberikan Vaksin Anti Rabies (VAR) pada anjing dan anjing yang telah mendapat VAR diberikan tanda. Seka Truna-truni juga dapat berperan aktif sebagai tenaga promosi kesehatan dalam upaya penanggulangan rabies.
            Peranan tokoh-tokoh masyarakat sebagai agen perubahan (agent of change) juga diperlukan. Merekalah yang diharapkan mampu memberi informasi yang baik dan benar kemudian menggerakan masyarakat menjalankan program yang telah disepakati. Sehingga program penanggulangan rabies dapat berjalan dengan baik.
            Dibeberapa daerah ada yang  menerapkan awig-awig (peraturan adat yang disepakati bersama) dimana masyarakat yang memiliki anjing yang sengaja diliarkan dan menggigit korban maka si pemilik diminta mengganti biaya pengobatan bahkan sampai upacara kematian dan akan diberi denda sesuai aturan yang disepakati. Hal ini bertujuan agar masyarakat tersebut menjaga anjingnya dengan baik dan tidak melepaskan begitu saja tanpa perawatan. Pemilik anjing berkewajiban memberi vaksin pada anjingnya dan merawatnya. Apabila ada anjing liar yang tidak jelas kepemilikannya sebaikny dieliminasi.
            Penerapaan peraturan adat (awig-awig) yang disepakati bersama oleh masyarakat dipandang lebih efektif  sebagai upaya melakukan pengawasan terhadap anjing liar dan penanggulangan rabies. Di beberapa daerah pembuatan awig-awig ini telah dilaksanakan. Anggota masyarakat yang memiliki anjing yang tadi diliarkan dan tidak terpelihara dengan baik kini mulai melakukan pengawasan dan pemeliharaan.
            Sebenarnya banyak potensi organisasi masyarakat yang dapat digerakan dalam mendukung program ini seperti IAKMI, PHDI, LSM, Universitas, dan lainnya. Inilah bentuk peran serta masyarakat dalam upaya penanggulangan rabies. Permasalahan rabies adalah masalah kita semua jadi sudah sepantasnya kita semua berperan serta dalam penanggulangannya.


Monday, January 2, 2012

Sebuah Tantangan : Mewujudkan Kawasan Bebas Rokok



Sang Gede Purnama


Perokok setiap tahunnya terus saja bertambah jumlahnya. Dimana pangsa pasarnya di fokuskan pada anak-anak muda. Rokok seringkali menyebabkan masyarakat miskin menjadi miskin karena banyak uang yang dihabiskan untuk membeli rokok dibandingkan kebutuhan makan dan sehari-harinya. Orang yang sudah kecanduan nikotin lebih mementingkan merokok dibandingkan kebutuhan yang lainnya.

Merokok juga dapat membuat seseorang berisiko untuk terkena berbagai penyakit seperti jantung koroner, kanker paru, mulut, tenggorokan, stroke, impotensi, gangguan kehamilan, janin dan lainnya. Dalam satu batang rokok terdapat 4000 bahan kimia beracun dan 69 diantaranya bersifat karsinogenik atau menyebabkan kanker.

Padahal kerugian yang diakibatkan dampak merokok cukup besar dibandingkan cukai rokok yang diterima pemerintah kita. Besarnya biaya kesehatan pada penderita penyakit akibat merokok, biaya tidak langsung seperti kehilangan produktifitas, kecacatan, opportunity cost dan lainnya.

Kebiasaan merokok telah membudaya dengan lingkungan masyarakat kita dimana disetiap acara biasanya disajikan rokok. Hal ini mendorong semakin banyak orang yang akan menjadi perokok. Generasi muda juga mendapatkan tekanan sosial dari teman-temannya sehingga menjadi perokok sejak usia muda.

Iklan rokok dapat kita lihat dimana-mana, beberapa kegiatan olahraga justru disponsori oleh perusahaan rokok. Hal ini malah membuat bingung masyarakat seolah-olah rokok itu menyehatkan padahal justru kenyataannya sebaliknya. Mengurangi iklan rokok tersebut perlu kita lakukan sebab merokok jelas merugikan kesehatan kita.

Seorang suami yang merokok di rumah telah membuat istri dan anaknya juga terpapar oleh asap rokok. Pekerja yang merokok dikantor juga telah membuat teman lainnya terpapar. Ada sekitar 85% asap rokok dalam ruangan merupakan asap samping (sidestream smoke) dari ujung rokok yang membara. Asap inilah yang diisap oleh perokok pasif yang kadarnya lebih tinggi dari yang diisap oleh perokok. Oleh karena itulah menjadi perokok pasif sangat berbahaya.

Peraturan yang melindungi perokok pasif sampai saat ini tidak ada yang berjalan secara efektif. Bahkan undang-undang tentang ini masih dalam perdebatan, padahal perokok pasif berhak mendapat perlindungan. Paparan asap rokok orang lain dapat membahayakan semua pihak yang ada didekatnya.

Mewujudkan kawasan bebas rokok

Lebih dari 150 juta penduduk Indonesia terpapar asap rokok orang lain dirumah, di perkantoran, di tempat-tempat umum dan kendaraan umum. Sebanyak 71% rumah tangga mempunyai pengeluaran untuk merokok, dan lebih dari 87% merokok di dalam rumah ketika sedang berada bersama anggota keluarganya (Susenas 2004). Data Susenas tahun 2001 juga menunjukan sebanyak 43 juta anak Indonesia usia 0-14 tahun yang sama dengan 70% populasi kelompok umur tersebut terpapar asap rokok di dalam rumah.

Kondisi ini sangat mengkhawatirkan kita semua. Mewujudkan kawasan bebas rokok perlu kita lakukan segera. Namun demikian yang dimaksud kawasan bebas rokok adalah didalam ruangan dan tempat-tempat umum. Jadi perokok dapat merokok diluar rungan, hal ini bertujuan mengurangi paparan asap rokok kepada orang lain. Ruangan yang ber AC juga sangat tidak aman apabila ada yang merokok, sebab sirkulasi udara yang berputar-putar disana dapat mencemari seluruh ruangan.

Kebiasaan merokok didalam rumah dan dikantor justru dapat membahayakan orang yang ada disekitarnya. Paparan asap rokok selama 30 menit saja dapat meningkatkan jumlah sel dinding dalam pembuluh darah (endotel), menambah beban oksidasi, menyebabkan kerusakan sel endotel dan penggumpalan sel pembeku darah yang menyebabkan penyempitan dan kekakuan pembuluh darah.

Sebenarnya masyarakat berhak mendapatkan perlindungan hukum dari paparan asap rokok orang lain yang dapat membahayakan kesehatan mereka. Oleh sebab itulah diperlukan suatu peraturan yang mengatur tentang kawasan bebas asap rokok. Perokok pasif berhak untuk mendapat perlindungan tersebut bahkan dapat menuntut apabila kesehatannya terbukti berdampak buruk akibat dari paparan asap rokok.

Di Indonesia saat ini peraturan tentang kawasan bebas rokok masih tarik ulur dengan berbagai kepentingan, beberapa daerah sudah mulai mengeluarkan Perda tentang kawasan bebas rokok seperti di Kota Palembang baru-baru ini di Provinsi Bali. Perlunya komitmen pemerintah dan masyarakat dalam mewujudkannya. Kita masih menunggu daerah-daerah lainnya yang memiliki komitmen untuk membuat Perda Kawasan Bebas Rokok.