Wednesday, December 19, 2012

Flu burung

Cara penularan

Citra mikrograf virus flu burung dalam tahap akhir.[1]
Burung liar dan unggas domestikasi (ternak) dapat menjadi sumber penyebar H5N1. Di Asia Tenggara kebanyakan kasus flu burung terjadi pada jalur transportasi atau peternakan unggas alih-alih jalur migrasi burung liar.
Virus ini dapat menular melalui udara ataupun kontak melalui makanan, minuman, dan sentuhan. Namun demikian, virus ini akan mati dalam suhu yang tinggi. Oleh karena itu daging, telur, dan hewan harus dimasak dengan matang untuk menghindari penularan. Kebersihan diri perlu dijaga pula dengan mencuci tangan dengan antiseptik. Kebersihan tubuh dan pakaian juga perlu dijaga.
Virus dapat bertahan hidup pada suhu dingin. Bahan makanan yang didinginkan atau dibekukan dapat menyimpan virus. Tangan harus dicuci sebelum dan setelah memasak atau menyentuh bahan makanan mentah.
Unggas sebaiknya tidak dipelihara di dalam rumah atau ruangan tempat tinggal. Peternakan harus dijauhkan dari perumahan untuk mengurangi risiko penularan.
Tidak selamanya jika tertular virus akan menimbulkan sakit. Namun demikian, hal ini dapat membahayakan di kemudian hari karena virus selalu bermutasi sehingga memiliki potensi patogen pada suatu saat. Oleh karena itu, jika ditemukan hewan atau burung yang mati mendadak pihak otoritas akan membuat dugaan adanya flu burung. Untuk mencegah penularan, hewan lain di sekitar daerah yang berkasus flu burung perlu dimusnahkan.dan dicegah penyebarannya

Gejala dan perawatan

Gejala umum yang dapat terjadi adalah demam tinggi, keluhan pernapasan dan (mungkin) perut. Replikasi virus dalam tubuh dapat berjalan cepat sehingga pasien perlu segera mendapatkan perhatian medis.
Penanganan medis maupun pemberian obat dilakukan oleh petugas medis yang berwenang. Obat-obatan yang biasa diberikan adalah penurun panas dan anti virus. Di antara antivirus yang dapat digunakan adalah jenis yang menghambat replikasi dari neuramidase (neuramidase inhibitor), antara lain Oseltamivir (Tamiflu) dan Zanamivir. Masing-masing dari antivirus tersebut memiliki efek samping dan perlu diberikan dalam waktu tertentu sehingga diperlukan opini dokter.

Wednesday, August 15, 2012

Mengenal Penyakit Filariasis, Cara penularan dan pencegahnnya

Penyakit filariasi atau penyakit kaki gajah pada akhir-akhir kemarin mendapat perhatian penting bagi masyarakat di Indonesia lantaran terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan di salah satu propinsi di Indonesia. Adakah kita sudah mengenal penyakit ini ? penyakit filariasis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh cacing filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes & Armigeres.
Penyakit Filariasis ini bersifat menahun dan kronis dan bila tidak cepat mendapat pengobatan akan menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik bagi perempuan dan laki-laki.
WHO sudah menetapkan Kesepakatan Global ( The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health problem by The Year 2020 ). Program eliminasi dilaksanakan melalui pengobatan massal dengan DEC dan Albendazol setahun sekali selama 5 tahun dilokasi yang endemis dan perawatan kasus klinis baik yang akut maupun kronis untuk mencegah kecacatan dan mengurangi penderitanya. Indonesia akan melaksanakan eliminasi penyakit kaki gajah secara bertahap dimulai pada tahun 2002 di 5 kabupaten percontohan. ( Sumber )
Cara Penularan penyakit filariasis
Seseorang dapat tertular atau terinfeksi penyakit kaki gajah apabila orang tersebut digigit nyamuk yang infektif yaitu nyamuk yang mengandung larva stadium III ( L3 ). Nyamuk tersebut mendapat cacing filarial kecil ( mikrofilaria ) sewaktu menghisap darah penderita mengandung microfilaria atau binatang reservoir ( pembawa ) yang mengandung microfilaria. Siklus Penularan penyakit kaiki gajah ini melalui dua tahap, yaitu perkembangan dalam tubuh nyamuk ( vector ) dan tahap kedua perkembangan dalam tubuh manusia (hospes) dan reservoair.
Gejala klinis Filariais Akut adalah
Demam berulang-ulang selama 3 ? 5 hari, Demam dapat hilang bila istirahat dan muncul lagi setelah bekerja berat ; pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan paha, ketiap (lymphadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit ; radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang menjalar dari pangkal kaki atau pangkal lengan kearah ujung (retrograde lymphangitis) ; filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah ; pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan terasa panas (early lymphodema). Gejal klinis yang kronis ; berupa pembesaran yang menetap (elephantiasis) pada tungkai, lengan, buah dada, buah zakar (elephantiasis skroti).
Pencegahan penyakit Filariasi :
Pencegahan dapat dilakukan dengan:
  • Berusaha menghindarkan diri dari gigitan nyamuk penular
  • Membersihkan tanaman air pada rawa-rawa yang merupakan tempat perindukan nyamuk, menimbun, mengeringkan atau mengalirkan genangan air sebagai tempat perindukan nyamuk
  • Membersihkan semak-semak disekitar rumah
  • Dapat juga menggunakan tanaman yang dapat mengusir nyamuk.
  • Untuk pencegahan penyakit yang ditularkan oleh nyamuk disini.

Wednesday, July 4, 2012

KONTROVERSI KONDOM, LOKALISASI DAN JARUM SUNTIK DALAM PENANGGULANGAN AIDS


OLEH : SANG GEDE PURNAMA

Kasus HIV/AIDS setiap tahuan semakin meningkat jumlahnya. Jumlah kasus HIV di Indonesia secara kumulatif dari tahun 1987 hingga Maret 2012 sebesar 82.870 kasus dan AIDS sebesar 30.430 kasus. Kasus yang paling banyak pada usia produktif 20-29 tahun.  Perlu dilakukan upaya pencegahan yang komprehensif dalam penanggulangannya ada beberapa isu yang dapat menimbulkan kontraversi di masyarakat terkait kebijakan penanggulangan AIDS yakni penggunaan kondom, lokalisasi dan anjuran jarum suntik di lapas.
            Kebijakan penggunaan kondom pada remaja baru-baru ini menjadi suatu isu yang kontroversial sehingga membutuhkan penjelasan menteri kesehatan lebih lanjut. Kondom adalah suatu alat kontrasepsi sekaligus dapat dimanfaatkan untuk mencegah penularan HIV lewat hubungan seksual. Kondom menjadi suatu isu yang kontroversial karena masih dipandang melegalkan seks bebas. Mempromosikan kondom bagi sebagian orang dianggap menganjurkan remaja untuk melakukan seks bebas. Hal ini tentunya menjadi perdebatan dan ditentang berbagai tokoh agama dan pemerhati sosial budaya bahkan belakangan menjadi perdebatan secara politis karena terkait kebijakan dan peraturan.
            Sebenarnya program pemanfaatan kondom secara konsisten terbukti dapat menurunkan kasus HIV/AIDS seperti yang dilakukan di Thailand dengan program kondom 100%. Penularan HIV/AIDS di Indonesia lebih banyak melalui hubungan seksual. Untuk itulah ada anjuran untuk menggunakan kondom. Selama ini penggunaan kondom dirasa masih kurang sedangkan beberapa anak muda sudah melakukan seks bebas tanpa menyadari risiko yang akan ditimbulkannya. Maka kepada orang yang melakukan seks berisiko tersebut sebaiknya menggunakan kondom. Hal ini bertujuan mengurangi penyebaran HIV/AIDS.
Selain isu penggunaan kondom juga ada isu untuk melakukan lokalisasi dalam penanggulangan AIDS. Melakukan lokalisasi pada pekerja seks juga menjadi isu yang kontroversial. Masyarakat kita dengan budaya timur dan berasaskan agama serta pancasila sebenarnya tidak ada yang mengakui keberadaan tempat lokalisasi. Pekerja seks juga dilarang karena tidak sesuai norma agama, hukum dan sosial masyarakat Indonesia. Selanjutnya daerah mana yang bersedia disebut sebagai daerah lokalisasi ? apalagi disebut sarang pekerja seks. Maka yang akan timbul adalah perlawanan dari berbagai lapisan masyarakat terhadap kebijakan tersebut.
Kebijakan lokalisasi sebenarnya bertujuan untuk mempermudah mengontrol keberadaan pekerja seks sehingga dapat dilakukan pemeriksaan kesehatan serta memberikan pelayanan kesehatan. Kalau mereka mobilitasnya tinggi sering berpindah-pindah dan keberadaanya sulit di deteksi justru akan mempersulit untuk melakukan pengawasan serta pemeriksaan terhadap kondisi kesehatannya. Hal ini justru mempercepat penyebaran HIV/AIDS oleh sebab itulah ada usulan untuk melakukan lokalisasi terhadap pekerja seks.
Program pemberian jarum suntik pada warga binaan di lembaga pemasyarakatan sampai saat ini  menjadi isu yang kontroversial. Di lembaga pemasyarakatan dilarang ada peredaran narkoba dengan demikian maka tidak perlu ada penggunaan jarum suntik untuk injeksi narkotika sehingga program pemberian jarum suntik steril pada napi dianggap tidak perlu. Bahkan beberapa menganggap memberikan jarum suntik terkesan menganjurkan penggunaan narkotika di lembaga pemasyarakatan.
Faktanya banyak warga binaan pemasyarakatan yang tertangkap menggunakan narkotika dan psikotropika. Hal ini menunjukkan bahwa ada peredaran narkoba di lapas. Penggunaan narkotika secara bersama-sama tanpa jarum suntik steril dapat mempercepat penyebaran virus HIV. Hal itulah yang menyebabkan perlunya pembagian jarum suntik steril kepada warga binaan di lapas.
Hal ini mengingatkan kita kepada tokoh politik untuk berhati-hati dalam mengeluarkan isu politis terkait dengan kebijakan kesehatan terutam isu kontroversial karena akan berdampak politis. Upaya penanggulangan HIV/AIDS memang diperlukan program yang komprehensif namun demikian bukan berarti kita membuat keresahan di masyarakat. Program pencegahan HIV/AIDS memerlukan kesadaraan semua pihak untuk bersama-sama melihat permasalahan dari perspektif kesehatan masyarakat.

Sudut pandang kesehatan masyarakat
Prostitusi sebenarnya hampir di setiap negara melarang baik secara hukum maupun agama. Namun kenyataanya masih tetap ada dan berkembang di masyarakat walaupun beberapa yang terselubung. Sekarang ini kondisinya semakin sulit di kontrol karena terselubung dan beberapa bersifat on call. Upaya merubah perilaku masyarakat tidaklah mudah terutama untuk tidak melakukan kegiatan yang berisiko untuk tertular HIV.
Sampai saat ini HIV/AIDS belum ada obatnya sehingga upaya pencegahan akan lebih efektif untuk penanggulanganya. Ibu rumah tangga yang ada di rumah juga dapat berisiko tertular apabila suaminya suka jajan di luar. Oleh sebab itu disarankan untuk mengetahui status HIV masing-masing pasangan sehingga bisa mencegah penularanya.
Penularan HIV melalui kontak cairan tubuh seperti darah dan sperma untuk itu kita dapat menghindarinya dengan rumus ABCDE dengan A (abstinancy) yakni tidak melakukan hubungan seksual berisiko, B (be faithful) yakni setia pada pasangan, C (use condom) mempergunakan kondom jika berhubungan seks berisiko, D (don’t use drug) jangan mempergunakan narkoba yang dapat meningkatkan perilaku berisiko apalagi berbagi jarum suntik tidak steril akan mempercepat penyebaran HIV. E (Education) memberikan pendidikan tentang kesehatan reproduksi dan pencegahan AIDS.


Sunday, June 10, 2012

JAMINAN SOSIAL NASIONAL TERTUNDA LAGI


 
Oleh : Sang Gede Purnama


Sudah 7 tahun ditetapkannya Undang-Undang No 40 tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial nasional (SJSN) namun belum dapat dilaksanakan sampai saat ini. Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Sistem jaminan sosial nasional diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Terwujudnya SJSN di Indonesia sangat diharapkan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Mereka akan terjamin hidupnya sesuai dengan amanat yang terkandung dalam Undang-undang dasar 1945 dan Pancasila. Jenis program jaminan sosial meliputi jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pension, dan jaminan kematian. Program ini akan mencakup seluruh warga negara Indonesia, tidak peduli apakah mereka termasuk pekerja sektor formal, sektor informal, atau wiraswastawan.
Program Jamsosnas diselenggarakan menurut asas-asas berikut ini: Asas saling menolong (gotong royong): peserta yang lebih kaya akan membantu peserta yang kurang mampu, peserta yang mempunyai risiko kecil akan membantu peserta yang mempunyai risiko lebih besar, dan mereka yang sehat akan membantu mereka yang sakit.   Asas kepesertaan wajib: seluruh penduduk Indonesia secara bertahap akan diwajibkan untuk berpartisipasi dalam program Jamsosnas. Asas dana amanah (trust fund): dana yang dikumpulkan dari peserta akan dikelola oleh beberapa Badan Pengelola Jamsosnas. Asas nirlaba: dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan jaminan sosial seluruh peserta. Keterbukaan, pengurangan risiko, akuntabilitas, efisiensi, dan efektifitas. Portabilitas: peserta akan terus menjadi anggota program Jamsosnas tanpa memedulikan besar pendapatan dan status kerja peserta.
Badan penyelenggara jaminan sosial yang ditunjuk adalah Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK); Perusahaan Perseroan (Persero) Dana tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN); Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI); dan Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES).
            Program Jaminan Kesehatan berdasarkan data Kementerian Kesehatan pada 2010. Dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 237,5 juta jiwa, masih terdapat 116,9 juta jiwa penduduk (49,22%) yang belum memiliki program Jaminan Kesehatan. Sementara yang menjadi peserta Askes 95,2 juta jiwa, Jamsostek 4,4 juta jiwa, ASABRI 2 juta jiwa, Badan Pelaksana (Bapel) Asuransi 5 juta jiwa, dan peserta Asuransi Komersial 8,8 juta jiwa. Ini menunjukan hampir setengah dari penduduk Indonesia tidak memiliki asuransi kesehatan. Mereka membutuhkan pemerataan dan keadilan untuk mendapatkan haknya sebagai warga Negara Indonesia.
            Berbagai kendala yang dihadapi dalam upaya melaksanakan SJSN terletak pada kesepakatan pemegang kebijakan yakni pemerintah dan DPR dalam membuat peraturan terkait yang mendukung telaksananya program tersebut. Anggaran yang dibutuhkan untuk terlaksananya program ini memang cukup besar namun demikian dengan mekanisme yang tepat maka akan berjalan lancar. Program SJSN sesuai asasnya yakni gotong royong dan kepesertaan wajib maka akan ada subsidi dari yang kaya ke miskin dan saling membantu sesuai prinsip asuransi. Kalau saja kenaikan BBM itu mengangkat isu ini bukannya sekedar memberikan bantuan langsung tunai yang sifatnya sementara mungkin akan banyak mendapatkan dukungan masyarakat.
            Tuntutan buruh terkait dengan pemberlakuan sistem outsourcing selama ini dapat dipahami karena masa depan mereka kurang terjamin, gaji dipotong pihak ketiga dan tidak ada jenjang karir. Bagi perusahaan juga rugi karena mereka investasi tenaga tetapi SDM mereka tidak ada jaminan akan tetap bekerja terus. Dengan adanya SJSN maka pekerja diharapkan akan mendapatkan dana pension dan jaminan hari tua sesuai dengan hasil kerjanya. Perusahan juga akan diringankan dengan sistem ini karena ada jaminan dari Negara untuk tenaga kerjanya.
Permasalahan yang muncul berikutnya bagaimana menggabungkan beberapa l Badan penyelenggara jaminan sosial dengan peranan, anggota dan asetnya tersebut. Mereka sudah memiliki peranan masing-masing untuk gampangnya lembaga yang ditunjuk tetap menjalankan fungsinya dan dievaluasi kinerjanya secara teratur. Dengan demikian tidak perlu membuat lembaga baru lagi ataupun kalau mau di digabung dibuatkan suatu lembaga khusus yang menangani SJSN dan terkontrol kinerjanya secara teratur.
            Lalu kenapa program seperti ini ditunda padahal undang-undangnya sudah disahkan. Teknis penyelenggaraan SJSN sudah diatur dalam undang-undang diserahkan pada lembaga jaminan sosial nasional mereka diberi tanggungjawab untuk menyelenggarakannya. Saat ini diperlukan kesepakatan antara pemerintah dan DPR untuk mendapatkan dukungan politik serta kebijakan pendukung terkait. Anggaran dalam pelaksanaan program ini dapat mengelola dari anggaran yang ada sebelumnya untuk selanjutnya sambil berjalan mengumpulkan dana dari masyarakat dan pajak. Berjalannya SJSN sangat terkait dengan komitmen dari eksekutif dan legislatif dalam menjalankan amanat undang-undang yang telah dibuat.
Penerapan undang-undang SJSN adalah sangat ideal dimana Negara menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Banyak pihak tentunya sangat mendukung dengan kebijakan ini karena manfaatnya begitu besar bagi kehidupan bernegara. Realisasi undang-undang tentang SJSN sangatlah diharapkan semua pihak.

Tuesday, May 8, 2012

Epidemiology Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) in Indonesia




DHF commonly found in tropical and sub-tropical. Data from around the world showed Asia ranks first in number of patients with DHF each year. Meanwhile, since 1968 until 2009, 0rganization World Health Organization (WHO) recorded the state of Indonesia as a country with the highest cases of DHF in Southeast Asia. DHF disease remains one of the major public health problems in Indonesia.
The number of patients and the distribution area increases with increasing mobility and population density. Dengue Fever in Indonesia were the first time found in the Surabaya city during 1968, where as many as 58 people were infected and 24 of them died (mortality rate : 41.3%). And since that time, the disease was spread throughout Indonesia.
The disease is caused by Dengue virus of the genus Flavivirus, family Flaviviridae. Dengue is transmitted to humans through the bite of an infected Aedes mosquito dengue virus. Dengue virus causes dengue fever (DD), Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) and Dengue Shock Syndrome (DSS) is included in group B Arthropod Virus (Arbovirosis) is now known as the genus Flavivirus, family Flaviviride, and have four types of serotypes, namely: Den -1, Den-2, Den-3, Den-4.
In Indonesia, DHF has become a public health problem for 41 years. Since 1968 there has been increased spread of the number of provinces and districts / cities of endemic dengue, from 2 provinces and 2 cities, became 32 (97%) and 382 (77%) districts/cities in 2009. Maluku Province, from 2002 until 2009 there were no reports of dengue cases. In addition there is also an increasing number of dengue cases, in 1968 only 58 cases to 158 912 cases in 2009.
The increase and spread of dengue cases are probably caused by high population mobility, urban development, climate change, changes in population density and distribution and other epidemiological factors that still require further study.

 
Incidence Rate (IR)

According to Mc Michael (2006), climate change is causing changes in rainfall, temperature, humidity, air direction so that the effect on terrestrial and marine ecosystems and the effect on health, especially against the proliferation of disease vectors such as Aedes mosquito, malaria and others. In addition, behavioral factors and community participation is still lacking in the activities of mosquito eradication nest (PSN) and the factor of population growth and increased mobility of population factors in line with the improved means of transportation led to the spread of dengue virus more easily and more widely.
In 2009 the province of Jakarta was a province with the highest incidence rate DHF (313 cases per 100,000 population), whereas the NTT province with the lowest incidence rate DHF (8 cases per 100,000 population). There are 11 (33%) provinces, including in high-risk areas (AI> 55 cases per 100,000 population), the last five years (2005-2009) five provinces with the highest IR. Jakarta and East Kalimantan province always has been in five provinces with the highest IR. Jakarta always has the highest IR each year.
This happened because of the influence of population density, high population mobility and a better transportation facilities than other areas, so the spread of the virus becomes more easily and more widely. In contrast to East Kalimantan not too densely populated, according to SUPAS 2005 East Kalimantan population densities of only 12 people/km2 (DKI Jakarta 13,344 people/km2). Factors that influenced the height of the DHF incident in East Kalimantan, the possibility was because of the high rainfall year round and the existence of the biological environment that caused mosquitoes to breed more easily.
Dengue cases per group age of the year 1993 - 2009 there was a shift. From 1993 to 1998 greatest old group of dengue cases was the age group <15 years, in 1999 to 2009 the largest age group of DHF cases tend to be in the age group> = 15 years. When seen, the distribution of cases by sex in 2008, the percentage of male patients and female nearly equal. Number of patients with male sex was 10 463 persons (53.78%) and women amounted to 8991 people (46.23%). This illustrates that the risk of DHF for men and women was almost the same, did not depend gender.
Climate change may extend the transmission of vector borne diseases and the changing geographic area, with possible spread to areas of low population immunity or the public health infrastructure is lacking. In addition to climate change, risk factors that may affect the transmission of dengue is environmental factors, urbanization, population mobility, population density and transportation. Rainfall Index (RI) that is multiplication of the rainfall and the day rain divided with the number of days in the month. RI not directly affects the breeding of mosquitoes, but the effect on the ideal rainfall. The ideal rainfall meaning that rain water not to cause flooding and stagnant water in a container / media into the breeding places of mosquitoes that are safe and relatively clean (for example basins in bamboo fences, trees, tin cans, old tires, roof or gutters home ). Availability of water in the media will cause mosquito eggs to hatch and after 10-12 days will turn into a mosquito. When the man was bitten by a mosquito with dengue virus then in 4-7 days and then will be symptoms of dengue fever. So if only attention to risk factors of rainfall, the time required from start to the rainy season until the occurrence of dengue incidence is about 3 weeks.

Sumber : Kemenkes, 2010, demam berdarah dengue, Buletin  jendela epidemiologi, vol 2, 1-15